My Rainbow Dreams

Just Blogger Templates

Kamis, 08 Desember 2011

Orang Rumah", Sebutan untuk Wanita Melayu di Buton

BAUBAU - Wanita bersuami dalam tatanan masyarakat adat Buton dan Melayu dikenal 
dengan sebutan Orang rumah". Penamaan tersebut diidentikkan peran mereka yang 
lebih banyak menangani urusan rumah tangga.

Dalam tatanan masyarakat Buton, "orang rumah" disebut miana banua. Sebutan itu 
merupakan penamaan halus bagi kaum wanita bersuami yang dalam kesehariannya 
lebih banyak berkutat melayani suami, mengasuh anak, dan mengurusi seluruh 
keperluan dapur.

Menurut Profesor Mady Nuwairi Hj Khazai, budayawan Melayu asal Malaysia, cara 
masyarakat adat Buton memandang kaum wanita dalam kehidupan rumah tangga kurang 
lebih sama dengan cara pandang masyarakat adat Melayu. 

"Jadi, budaya Buton dan budaya Melayu dalam menempatkan kaum wanita, kurang 
lebih sama," tutur Mady saat berbicara pada diskusi ilmiah bertajuk "Kebudayaan 
Melayu-Buton" di Baubau, Sulawesi Tenggara, akhir Februari 2006 lalu. 

Dalam kebudayaan Melayu, istri memiliki lingkup kerja berbeda dari para suami 
mereka. Kesibukan istri lebih banyak mengurusi rumah tangga, mulai dari 
membersihkan dan mengatur perabotan rumah, mencuci, sampai urusan 
masak-memasak. Urusan dapur dominan dalam lingkungan rumah tangga orang Melayu. 
Kaum istri juga bertanggung jawab mempersiapkan dan menjaga kecukupan kebutuhan 
makanan untuk keluarga.
Demikian pula di lingkungan rumah tangga orang Buton, jelas Mady Nuwairi. 
Urusan rumah tangga dan dapur juga tak dapat dipisahkan dengan dunia wanita. 
Para istri dan wanita dewasa akan sangat tercela jika tidak akrab dengan 
pekerjaan rumah, dalam hal ini urusan dapur.

"Masyarakat Melayu menyebut istri dengan sebutan "orang dapur", sementara 
masyarakat Buton menyebutnya miana rapu yang artinya kurang lebih sama.

Prof Dr Abdul Razak Karim, pembicara lain dalam diskusi itu mengemukakan 
pendapat serupa. Menurutnya, kebudayaan Buton memiliki kemiripan dengan Budaya 
Melayu, khususnya dalam prinsip kehidupan rumah tangga dan sosial 
kemasyarakatannya.
Dalam kehidupan rumah tangga dan sosial kemasyarakatan, masyarakat Melayu 
memegang prinsip sangat santun. Penyebutan "orang dapur" atau "orang rumah" 
merupakan bentuk penghalusan dari penamaan kaum wanita. Demikian pula dengan 
masyarakat Buton, miana banua atau miana rapu merupakan penghalusan dari sapaan 
kaum wanita atau para istri, tutur Abdul Razak yang budayawan asal Buton itu.


Falsafah
Tatakrama dan kesopanan masyarakat Melayu dalam kehidupan sosial kemasyarakatan 
tergambar jelas dalam falsafah kebudayaan Melayu. Dalam budaya Melayu, 
kehidupan sosial kemasyarakatan menganut falsafah adat bersendikan syara, syara 
bersendikan kitabullah. Syah kata syara, benar kata adat. Bila bertelikai adat 
dengan syara, tegakkan syara.

Maksudnya, dalam tatanan masyarakat Melayu adat dibangun berdasarkan agama, 
agama dibangun berdasarkan Kitab Allah, sah menurut agama, benar menurut adat. 
Jika terdapat perselisihan antara adat dengan agama, agama harus ditegakkan.

Falsafah hidup seperti ini, tutur Abdul Razak, dalam tatanan masyarakat Buton 
dikenal dengan istilah yinda yindamo sara somanamo agama, yinda yindamo karo 
somanamo Lipu, dan yinda yindamo lipu somanamo sara.
Artinya, kalau adat bertentangan dengan agama, agama harus diutamakan, kalau 
kepentingan pribadi bertentangan dengan kepentingan umum, kepentingan umum 
harus didahulukan, dan bila kepentingan umum berbenturan dengan adat, 
kepentingan adat harus dihormati.

"Falsafah hidup kedua suku bangsa ini, menggambarkan bahwa tatanan budaya 
masyarakat keduanya memiliki kesamaan. Keduanya sama-sama menempatkan agama 
sebagai sumber hukum tertinggi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan," katanya.

Kecuali falsafah tersebut, dalam budaya Melayu, kehidupan bermasyarakat 
menganut prinsip adat sesampan satu haluan, adat berlayar satu kemudi. Adat 
memerintah satu titah, adat memimpin satu petuah. Elok berkayuh sama merengkuh, 
elok berdayung sama sealun, elok berlayar sama tujuan.
Maksudnya, segala hal yang diatur dalam adat untuk kepentingan bersama dan 
kemaslahatan semua. Bagi masyarakat Buton, prinsip hidup ini dikenal dengan 
istilah popia-piara, poangkaa-angkataka, pomae-maeyaka dan pobici-biciki kuli.

Maksudnya, masyarakat Buton harus saling menjaga perasaan, saling menghormati, 
tidak saling membuka aib sesama, dan tidak saling menyakiti. Para pemimpin 
melindungi masyarakat, sebaliknya masyarakat menjunjung para pemimpin.

Harmonisasi kehidupan seperti ini dalam masyarakat Melayu dikenal dengan tanda 
seinduk dan sebahasa, tanda orang senenek dan semamak, petuah diingat amanah 
disimak.

Beberapa falsafah tersebut menggambarkan bahwa antara masyarakat Melayu dan 
masyarakat Buton memiliki kekerabatan yang sangat jelas. Keduanya sama-sama 
menempatkan adat dan agama sebagai sumber hukum tertinggi dalam kehidupan 
sosial kemasyarakatan.

Itu sebabnya saat menutup diskusi tersebut, Wali Kota Baubau Amirul Tamim 
menyarankan agar kesimpulan diskusi itu dijadikan rujukan menggali informasi 
tentang hubungan kekerabatan suku bangsa Melayu-Buton.

"Masih perlu pengkajian dan penelitian mendalam untuk melihat secara jelas 
hubungan kekerabatan kedua suku bangsa ini. Yang jelas, keduanya memiliki 
falsafah hidup yang hampir sama," kata Amirul. (agus sana'a)
sumber:http://www.freelists.org/post/ppi/ppiindia-Orang-Rumah-Sebutan-untuk-Wanita-Melayu-di-Buton
 

0 komentar:

Posting Komentar