BAUBAU - Wanita bersuami dalam tatanan masyarakat adat Buton dan Melayu dikenal
dengan sebutan Orang rumah". Penamaan tersebut diidentikkan peran mereka yang
lebih banyak menangani urusan rumah tangga.
Dalam tatanan masyarakat Buton, "orang rumah" disebut miana banua. Sebutan itu
merupakan penamaan halus bagi kaum wanita bersuami yang dalam kesehariannya
lebih banyak berkutat melayani suami, mengasuh anak, dan mengurusi seluruh
keperluan dapur.
Menurut Profesor Mady Nuwairi Hj Khazai, budayawan Melayu asal Malaysia, cara
masyarakat adat Buton memandang kaum wanita dalam kehidupan rumah tangga kurang
lebih sama dengan cara pandang masyarakat adat Melayu.
"Jadi, budaya Buton dan budaya Melayu dalam menempatkan kaum wanita, kurang
lebih sama," tutur Mady saat berbicara pada diskusi ilmiah bertajuk "Kebudayaan
Melayu-Buton" di Baubau, Sulawesi Tenggara, akhir Februari 2006 lalu.
Dalam kebudayaan Melayu, istri memiliki lingkup kerja berbeda dari para suami
mereka. Kesibukan istri lebih banyak mengurusi rumah tangga, mulai dari
membersihkan dan mengatur perabotan rumah, mencuci, sampai urusan
masak-memasak. Urusan dapur dominan dalam lingkungan rumah tangga orang Melayu.
Kaum istri juga bertanggung jawab mempersiapkan dan menjaga kecukupan kebutuhan
makanan untuk keluarga.
Demikian pula di lingkungan rumah tangga orang Buton, jelas Mady Nuwairi.
Urusan rumah tangga dan dapur juga tak dapat dipisahkan dengan dunia wanita.
Para istri dan wanita dewasa akan sangat tercela jika tidak akrab dengan
pekerjaan rumah, dalam hal ini urusan dapur.
"Masyarakat Melayu menyebut istri dengan sebutan "orang dapur", sementara
masyarakat Buton menyebutnya miana rapu yang artinya kurang lebih sama.
Prof Dr Abdul Razak Karim, pembicara lain dalam diskusi itu mengemukakan
pendapat serupa. Menurutnya, kebudayaan Buton memiliki kemiripan dengan Budaya
Melayu, khususnya dalam prinsip kehidupan rumah tangga dan sosial
kemasyarakatannya.
Dalam kehidupan rumah tangga dan sosial kemasyarakatan, masyarakat Melayu
memegang prinsip sangat santun. Penyebutan "orang dapur" atau "orang rumah"
merupakan bentuk penghalusan dari penamaan kaum wanita. Demikian pula dengan
masyarakat Buton, miana banua atau miana rapu merupakan penghalusan dari sapaan
kaum wanita atau para istri, tutur Abdul Razak yang budayawan asal Buton itu.
Falsafah
Tatakrama dan kesopanan masyarakat Melayu dalam kehidupan sosial kemasyarakatan
tergambar jelas dalam falsafah kebudayaan Melayu. Dalam budaya Melayu,
kehidupan sosial kemasyarakatan menganut falsafah adat bersendikan syara, syara
bersendikan kitabullah. Syah kata syara, benar kata adat. Bila bertelikai adat
dengan syara, tegakkan syara.
Maksudnya, dalam tatanan masyarakat Melayu adat dibangun berdasarkan agama,
agama dibangun berdasarkan Kitab Allah, sah menurut agama, benar menurut adat.
Jika terdapat perselisihan antara adat dengan agama, agama harus ditegakkan.
Falsafah hidup seperti ini, tutur Abdul Razak, dalam tatanan masyarakat Buton
dikenal dengan istilah yinda yindamo sara somanamo agama, yinda yindamo karo
somanamo Lipu, dan yinda yindamo lipu somanamo sara.
Artinya, kalau adat bertentangan dengan agama, agama harus diutamakan, kalau
kepentingan pribadi bertentangan dengan kepentingan umum, kepentingan umum
harus didahulukan, dan bila kepentingan umum berbenturan dengan adat,
kepentingan adat harus dihormati.
"Falsafah hidup kedua suku bangsa ini, menggambarkan bahwa tatanan budaya
masyarakat keduanya memiliki kesamaan. Keduanya sama-sama menempatkan agama
sebagai sumber hukum tertinggi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan," katanya.
Kecuali falsafah tersebut, dalam budaya Melayu, kehidupan bermasyarakat
menganut prinsip adat sesampan satu haluan, adat berlayar satu kemudi. Adat
memerintah satu titah, adat memimpin satu petuah. Elok berkayuh sama merengkuh,
elok berdayung sama sealun, elok berlayar sama tujuan.
Maksudnya, segala hal yang diatur dalam adat untuk kepentingan bersama dan
kemaslahatan semua. Bagi masyarakat Buton, prinsip hidup ini dikenal dengan
istilah popia-piara, poangkaa-angkataka, pomae-maeyaka dan pobici-biciki kuli.
Maksudnya, masyarakat Buton harus saling menjaga perasaan, saling menghormati,
tidak saling membuka aib sesama, dan tidak saling menyakiti. Para pemimpin
melindungi masyarakat, sebaliknya masyarakat menjunjung para pemimpin.
Harmonisasi kehidupan seperti ini dalam masyarakat Melayu dikenal dengan tanda
seinduk dan sebahasa, tanda orang senenek dan semamak, petuah diingat amanah
disimak.
Beberapa falsafah tersebut menggambarkan bahwa antara masyarakat Melayu dan
masyarakat Buton memiliki kekerabatan yang sangat jelas. Keduanya sama-sama
menempatkan adat dan agama sebagai sumber hukum tertinggi dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan.
Itu sebabnya saat menutup diskusi tersebut, Wali Kota Baubau Amirul Tamim
menyarankan agar kesimpulan diskusi itu dijadikan rujukan menggali informasi
tentang hubungan kekerabatan suku bangsa Melayu-Buton.
"Masih perlu pengkajian dan penelitian mendalam untuk melihat secara jelas
hubungan kekerabatan kedua suku bangsa ini. Yang jelas, keduanya memiliki
falsafah hidup yang hampir sama," kata Amirul. (agus sana'a)
sumber:http://www.freelists.org/post/ppi/ppiindia-Orang-Rumah-Sebutan-untuk-Wanita-Melayu-di-Buton
0 komentar:
Posting Komentar