"Ibu Kita Kartini... Putri Sejati..... Putri Indonesia.... Harum Namanya....". Sepenggal syair lagu yang masih terngiang sejak di bangku SD hingga kini. Mengingatkan kita pada sosok R.A. Kartini. Wanita sederhana, namun perjuangan dan pemikirannya untuk Indonesia layak menjadi inspirasi bagi kaum hawa di tanah air.
Mengenang saat-saat lagu itu dikumandangkan pada waktu kecil, tepatnya dulu atau bahkan hingga kini di sekolah TK/SD, peringatan Hari Kartini tanggal 21 April begitu menyenangkan. Meski tidak tahu siapa sebenarnya RA. Kartini, tapi paling tidak, dari apa yang diceritakan para guru dan maraknya peringatan Hari Kartini, dalam diri anak-anak sudah membekas figur wanita yang hebat, sosok ibu yang tangguh dan perempuan yang pantang menyerah.
Biasanya, peringatan Hari Kartini di sekolah TK/SD diramaikan dengan gelar busana adat. Anak-anak memakai gaun khas Jawa, Kalimantan, Sumatera, Papua, dan sebagainya. Mereka tampak lucu, lugu, dan anggun saat berbalut pakaian adat. Ketika itu, corak dan pernak-pernik budaya seakan mewarnai jiwa dan raga. Adat kesopanan, kesadaran akan pluralitas dan kebhineka ragaman menusuk ke dalam relung-relung budaya dan mengakar dalam sanubari.
Pakaian adat-istiadat senusantara yang dikenakan anak-anak di masa kecilnya, paling tidak mengajarkan tentang kesatuan, keaneka ragaman, kesopanan, keindahan, dan juga nasionalisme. Inilah identitas budaya yang harus ditanamkan sejak dini. Tanpa karakteristik tertentu, bangsa kita akan menjadi bangsa yang mudah diombang-ambingkan oleh carut-marut peradaban modern dan mengglobal.
Hanya sayangnya, penanaman budaya nusantara di waktu kecil, di saat peringatan Hari Kartini seperti di atas, cuma bertahan sebentar. Ketika pendidikan dan pergaulan anak terus merangkak dewasa, lalu ia berinteraksi dengan banyak budaya tak terkecuali budaya asing yang bertolak belakang dengan budaya bangsa dan ajaran agama, maka seringkali identitas nasionalisme dan kebangsaan itu luntur.
Kartini Kini, dengan pakaian norak dan mengumbar aurat, sungguh jauh berbeda dengan Kartini Dulu. Ibu-ibu atau nenek kita, dengan kebaya anggun dan sederhana, mampu tampil sebagai wanita polos tapi tangguh. Berbeda jauh dengan Kartini Kini. Pakaiannya benar-benar mengumbar nafsu. Aurat dipertontonkan kepada semua orang. Kartini abad 20 ini bahkan meraup keuntungan dengan menjual tubuhnya.
Salah satu contoh. Kita bisa melihat tentang Putri Indonesia yang diikut sertakan dalam ajang pemilihan Miss Universe atau Miss World. Boleh saja para sponsor itu berargumen bahwa keikut sertaan putri Indonesia untuk membawa harum nama bangsa dengan secuil pakaian khas budaya Indonesia. Namun kenyataannya, putri kita di luar negeri justru berbusana bikini. Pakaian ala adat yang dikenakannya pun sangat glamour dan mahal. Sungguh berbeda dengan baju-baju wanita Indonesia di pedesaan yang compang-camping.
Jika demikian, apa sebenarnya yang kita tampilkan di dunia internasional selain kemewahan palsu dan kebudayaan semu. Wanita Indonesia kini hanya bisa bernyanyi dan berucap "Selamat Hari Kartini". Namun, sekali lagi, ini hanya sebatas ucapan yang perlu diprihatinkan. Para pejuang gender yang benar-benar ikhlas berjuang untuk wanita, justru mereka sering diserang dan didiskrisitkan. Lain lagi dengan orang-orang yang mengaku berjuang demi gender, tapi sebenarnya mereka berjuang untuk meraih proyek demi proyek.
Perempuan Indonesia kita biarkan menjual dirinya di luar negeri. Isteri dan sekaligus ibu dari anak-anak kita sendiri, kita biarkan mengais rizekinya sendiri dengan hidup terlunta-lunta. Kartini-kartini kita, justru kita biarkan mereka bergaul dengan orang-orang yang bukan muhrimnya. Kita acuh tak acuh dengan peluh kesah mereka.
Jika Kartini Dulu berjuang untuk mempertahankan kehormatannya, Kartini Kini justru berjuang untuk menjual kehormatannya. Selamat Hari Kartini....Perempuan Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar