My Rainbow Dreams

Just Blogger Templates

Rabu, 23 November 2011

test

test download

Rabu, 09 November 2011

Dewi Sartika: Pahlawan Dengan Tanda Jasa, Pahlawan Tanpa

Kantun Jujuluk Nu Arum

13205775322100929895
Dewi Sartika
Pada suatu masa walaupun belum ada istilah muatan lokal. murid-murid sekolah dasar di Jawa Barat diperkenalkan pada pahlawan-pahlawannya, baik pahlawan nasional dari daerah lain seperti RA Kartini, Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Dien dan tentu saja Raden Dewi Sartika yang asal Jawa Barat. Mereka telah meninggalkan nama yang harum, kantun jujuluk nu arum, kata orang Sunda.
Saya sengaja menulis pahlawan wanita Indonesia untuk mengingatkan bahwa kaum wanita  berperan dalam gerakan-gerakan mengangkat derajat bangsa Indonesia, baik melalui perjuangan bersenjata seperti dilakukan Martha Christina Tiahahu dan Cut Nyak Dien, melalui karya tulis ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ seperti dilakukan RA Kartini,  maupun melalui dunia pendidikan seperti dilakukan oleh Raden Dewi Sartika.  Padahal pada zaman mereka pendidikan dan posisi kaum wanita masih demikian tertinggal, sehingga apa yang dilakukan keempat perempuan yang saat itu berusia muda tentu saja luar biasa untuk ukuran zamannya, bahkan diukur dengan ukuran prestasi zaman sekarang sekalipun.
Salah satu cara mengingatkan pahlawan bangsa yang paling dekat ke rumah anak-anak sekolah dasar di Jawa Barat pada tahun 1960-an , mudah-mudahan sampai sekarang , adalah dengan mengajarkan kawih atau nyanyian mengenang Raden Dewi Sartika.   Saya bersyukur pada Tuhan sampai hari ini masih hafal syair dan langgam kawih Dewi Sartika, yang diajarkan bapak dan ibu guru SD Pengadilan I Bogor untuk menyanyikannya dalam suatu paduan suara atau rampak sekar.
Dewi Sartika  lahir di Bandung pada 4 Desember 1884 dan wafat di Cineam, Tasikmalaya pada 11 September 1947.  Dewi Sartika wafat saat sedang mengungsi di Desa Rahayu, Kecamatan Cineam, Tasikmalaya. Ketika itu Wilayah Republik Indonesia diserang oleh tentara NICA - Belanda pada peristiwa agresi militer I Belanda tahun 1947.
Kedua orangtua Dewi Sartika, Raden Rangga Somanagara dan Raden Ayu Raja Permas, dibuang Pemerintah Hindia Belanda ke Ternate karena tuduhan memberontak pada Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1893.  Sebelum dibuang ke Ternate,  Raden Rangga Somanagara adalah seorang Patih di Bandung.  Patih itu jabatan di pemerintahan lokal satu level di bawah Bupati, kira-kira setara jabatan Sekretaris Daerah atau Wakil Bupati zaman sekarang. Dengan dibuangnya sang ayah sebagai pemberontak, Dewi Sartika tidak melanjutkan lagi sekolahnya setelah kelas tiga di Lagere School.
Kiprah di dunia pendidikan beliau mulai sejak 1902 dengan mengajarkan membaca, menulis, memasak dan menjahit bagi kaum perempuan di sekitarnya.  Pada 16 Juli 1904 Raden Dewi Sartika mendirikan Sakola Istri atau Sekolah Perempuan, Tahun 1914 Sakola Istri diubah namanya menjadi Sakola Kautamaan Istri atau Sekolah Keutamaan Perempuan.  Pada tahun 1929 Sakola Kautamaan Isteri diubah namanya menjadi Sakola Raden Dewi.  Selain tersebar di kota kabupaten Pasundan, Sakola Kautamaan Istri sempat pula menyebar ke luar pulau Jawa.
Pemerintah Hindia Belanda pada 16 Januari 1939 memberi bintang jasa kepada Dewi Sartika atas jasanya memajukan pendidikan kaum perempuan.  Penghargaan pemerintah kolonial menunjukan bahwa perjuangan Dewi Sartika dilakukan secara koperatif, bukan perjuangan yang diramaikan dengan dar der dor suara senapan.   Selanjutnya Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1966 mengakui Raden Dewi Sartika sebagai pahlawan nasional.
Untuk perempuan yang hidup pada abad ke 19 sungguh luar biasa aktivitas Raden Dewi Sartika ini, yaitu mengajar dan mendirikan sekolah.  Pada saat Insinyur Soekarno baru belajar berjalan dan belum lancar bicara, Dewi Sartika sudah berinisiatif mengajar membaca, menulis dan keterampilan yang harus dimiliki seorang wanita.  Pada saat Bung Hatta baru berusia dua tahun, Dewi Sartika sudah mendirikan sekolah untuk kaum perempuan.  Visi beliau benar-benar melampaui zamannya.
Patutlah kita kenang Dewi Sartika sebagai pahlawan pendidikan bangsa, setara dengan orang Indonesia yang dar ..der…dor .. mengangkat senjata, atau berdiplomasi, bersilat lidah mempertahankan kemerdekaan melalui jalur perundingan.   Bentuk penghargaan lainnya adalah penamaan jalan Dewi Sartika, diantaranya di Bandung, Bogor, Bandar Lampung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Pontianak, Samarinda, Palu  dan Jakarta.
sumber:http://gentrapancaniti.wordpress.com/author/gentrapancaniti/

Senin, 07 November 2011

PKK : PAHLAWAN WANITA SEPANJANG JAMAN

Gerakan PKK yang dilahirkan pada masa Orde Baru itu pernah dituntut masyarakat untuk dibubarkan karena dianggap sebagai gerakan ibu-ibu yang tidak ada gunanya, kegiatannya dianggap ngrumpi atau ikut campur urusan yang dikerjakan suaminya yang sedang menjabat. Kenyataannya di lapangan sangat berbeda. Gerakan PKK telah sangat berjasa membantu dan mendampingi keluarga, umumnya ibu-ibu dan keluarga sederhana di pedesaan dalam memahami aspek-aspek pembangunan, ikut menjadi pendamping para pejabat dan rakyat di pedesaan dalam mengolah pembangunan dan secara berani sangat sering bekerja keras melebihi tanggung jawab yang dipikulnya. Gerakan PKK dengan kader-kadernya di pedesaan sering, bahkan pada umumnya, disamping bekerja tanpa upah, harus mengeluarkan dana dari kantong sendiri karena program pembangunan di masa lalu banyak yang dilakukan dengan sistem gotong royong yang sebagian kecil saja anggarannya berasal dari pemerintah.
Sejak didirikannya, gerakan PKK selalu membantu masyarakat di pedesaan melalui empat kelompok kerja yang dibentuk dari tingkat pusat sampai tingkat daerah di pedesaan. Setiap tahun kelompok-kelompok kerja itu mengadakan pertemuan di pedesaan dan juga di tingkat kecamatan, kabupaten, kota dan propinsi untuk merancang dan memperbaharui program kerjanya. Gerakan PKK biasanya menampung, bahkan menterjemahkan program-program pemerintah menjadi gerakan yang sederhana dan bisa dilaksanakan oleh rakyat banyak. Menurut pengalaman, banyak sekali program dan kegiatan yang dirancang oleh pemerintah untuk rakyat banyak selalu diterjemahkan oleh PKK menjadi gerakan masyarakat yang luas dan mandiri.
Gerakan PKK dengan kelompok kerjanya, terkenal dengan nama Pokja PKK, dengan perincian sebagai Pokja satu sampai Pokja empat, yang semuanya selalu tanggap terhadap program dan kegiatan yang dirancang pemerintah untuk rakyat, utamanya untuk kaum ibu atau perempuan pada tingkat pedesaan. Pokja pertama atau Pokja I biasanya dikembangkan dengan program-program dalam bidang keagamaan yang secara populer mengadakan berbagai kegiatan untuk meningkatkan Iman dan Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Untuk Pokja ini PKK membina anggotanya mengembangkan nilai-nilai keagamaan dalam program dan kegiatan yang dikerjakan sendiri oleh rakyat banyak, utamanya kaum ibu. Bentuk programnya berbeda atau bervariasi dari desa ke desa.
Sebagai contoh, beberapa daerah mengembangkan Pokja I berupa program Sema’an Al-Qur’an secara rutin, menyelenggarakan pengajian secara berkala, berlatih merawat atau menyelenggarakan lomba perawatan jenazah, mengadakan Temu Remaja untuk bersama-sama memahami kitab suci Al Qur’an, menyelenggarakan sosialisasi UU 23 tahun 2004 khususnya tentang penghapusan KDRT dan perlindungan anak, HAM, Napza, Perda, mengadakan sosialisasi kesetaraan jender dipandang dari sudut agama, atau mengadakan gerakan kebersihan berupa Gerakan Jum’at Bersih.
Kegiatan Pokja II PKK biasanya berupa program operasional dengan variasi yang menarik. Program dan kegiatan itu antara lain berupa kursus merangkai hantaran lamaran bagi santriwati, mengadakan kursus rias pengantin, mengadakan kursus menjahit dan memotong pakaian, mengadakan kursus ketrampilan daur ulang, mengadakan orientasi Kader Bina Keluarga Balita, atau BKB, mengadakan Lomba BKB dan pendidikan dini usia atau PADU, dan bahkan ada pula yang secara sungguh-sungguh mengadakan persiapan dan pelatihan guru untuk program PADU yang diselenggarakan secara mandiri.
Kegiatan Pokja III PKK umumnya berhubungan dengan ketahanan pangan, pertanian dan perkebunan, yang dimasa lalu umumnya dikelola dengan sangat intensif. Pokja III biasanya berdampingan dengan Kanwil dan Dinas Pertanian yang dimasa lalu mempunyai program yang sangat intensif di pedesaan. Program Pokja ini dikembangkan antara lain berupa kegiatan kaum ibu berupa penyuluhan gerakan intensifikasi terpadu, penyelenggaraan kontes produksi pisang mas, kegiatan penyuluhan agar timbul kesadaran dan kehormatan untuk tetap menghargai pemanfaatan pangan lokal berupa kontes pangan lokal, mengadakan pelatihan pembuatan menu PMT-AS, memberi penyuluhan tentang tehnik menanam sayuran dengan sistim vertikultur untuk mendukung agropolitan, ketahanan pangan dan peningkatan gizi, penyuluhan gizi secara intensif, penyuluhan rumah sehat dalam program Tri Daya yang marak dan menarik.
Pokja IV PKK sangat erat hubungannya dengan penyelenggaraan program KB dan Kesehatan. Selama lebih dari tigapuluh tahun para anggota PKK aktif memberikan penyuluhan dan di banyak desa, atau ikut membantu pelayanan KB dan Kesehatan, baik dalam membagi kontrasepsi atau melakukan penimbangan balita. Segera setelah gerakan KB dan Kesehatan membentuk Pos Pelayanan Terpadu di desa-desa atau Posyandu di tahun 1983, banyak, atau hampir semua kader PKK menjadi mitra kerja yang sangat akrab dari gerakan KB dan Kesehatan di Posyandu. Program PKK biasanya berupa pengadaan pelatihan atau lomba kader Posyandu, mengadakan Sarasehan Kesehatan Reproduksi Remaja, mengadakan sosialisasi KB, mengadakan kunjungan pada keluarga miskin, atau kurang mampu, yang mempunyai anak Balita, mengadakan sosialisasi KB dan kesehatan sederhana, utamanya untuk mencegah adanya penyakit menular, ikut serta membantu distribusi alat dan obat kontrasepsi, garam yodium, ikut mengadakan pelatihan kader Gerakan Sayang Ibu, mengadakan pelatihan santriwati, ikut dalam penyuluhan dan gerakan PHBS, sosialisasi PSN dan pemeriksaan jentik.
Karena anggota PKK terdiri dari hampir semua ibu-ibu di pedesaan, bisa saja program dan kegiatan Pokja-pokja itu tumpang tindih. Keadaan ini biasa saja dan tidak menimbulkan masalah. Para ibu di pedesaan biasanya tidak terlalu kaku dalam mengolah kegiatannya di perdesaan. Inti dari kegiatan mereka biasanya gotong royong untuk memelihara kebersamaan, baik antar tetangga atau dengan ibu-ibu yang berasal dari desa lainnya. Para kader PKK bisa saja saling tukar menukar pengalaman dan meminjam para pelatih atau pendamping yang berasal dari desa tetangganya. Kehadiran pemimpin atau pendamping dari desa tetangga itu biasanya bisa menarik minat untuk kumpul kembali atau menyegarkan minat anggota yang relatif agak malas atau bosan berkumpul.
Para pejabat dari dinas dan penggawa desa biasanya juga bisa merangsang semangat atau memberi masukan berupa petunjuk-petunjuk tehnis yang diperlukan oleh para kader dari desa, bahkan tidak jarang mereka diundang untuk memberi penyuluhan secara langsung kepada anggota PKK yang ada. Tidak jarang pertemuan penyuluhan yang seharusnya diundang oleh pejabat dinas justru diselenggarakan oleh kader-kader PKK dengan kehadiran para pejabat dinas. Kerjasama seperti ini bisa meningkatkan kepercayaan kepada kader, tetapi sekaligus mempermudah tugas yang menjadi tanggung jawab para pejabat tingkat kabupaten, kota atau kecamatan.
Pada tingkat pusat, gerakan PKK dikoordinasikan oleh isteri Menteri Dalam Negeri dan dibantu oleh suatu tim yang sangat kuat dan dinamis. Pengurus pusat biasanya disebut Tim Penggerak PKK tingkat pusat. Tim Penggerak ini mengatur pokok-pokok manajemen dan program PKK untuk seluruh daerah. Tim Penggerak itu juga melakukan kerjasama dengan Departemen atau Instansi tingkat pusat. Dalam kegiatan operasional Pimpinan Tim atau anggotanya sering mengadakan koordinasi dan kunjungan bimbingan bersama-sama ke daerah dan desa-desa.
Pada tingkat kabupaten atau kota dipimpin oleh isteri bupati atau isteri walikota. Kalau kebetulan bupati atau walikotanya perempuan maka kepemimpinan dialihkan pada isteri Sekda atau pejabat senior lainnya. Bupati atau Walikota yang rajin dengan gerakan kemasyarakatan biasanya menjadi kunci keberhasilan PKK yang sangat penting. Apabila seorang bupati atau walikota dan istrinya menaruh komitmen dan perhatian yang tinggi terhadap gerakan PKK, maka umumnya PKK di wilayah itu sangat maju. Lebih-lebih kalau kegiatan para isteri bupati dan walikota itu bisa diteruskan kepada camat dan isterinya, kepala desa dan isterinya, maka PKK di daerah itu akan sangat maju. Hampir dapat dipastikan kalau PKK di suatu daerah maju, maka banyak sekali kegiatan kaum ibu yang menonjol. Tingkat kesehatan di pedesaan, utamanya penanganan masalah KB dan gizi, penimbangan balita dan pemeliharaan ibu hamil dan menyusui, atau bahkan kegiatan ekonomi keluarga dalam bentuk kerajinan dan sebagainya, relatif maju pesat.
Dalam keadaan kemiskinan yang masih sangat tinggi sekarang, disamping kita harus angkat jempol kepada PKK karena jasa-jasanya, ada baiknya pemerintah dan masyarakat memberikan kepercayaan yang tinggi kepada PKK dan lembaga lain seperti PKK di pedesaan untuk terjun bersama aparat pemerintah melakukan pemberdayaan keluarga agar makin mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. PKK dapat membantu meningkatkan peran dan fungsi Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) yang pernah menjadi andalan gerakan KB dan Kesehatan menjadi forum pemberdayaan keluarga agar mampu melaksanakan delapan fungsi utamanya. Karena delapan fungsi utama keluarga itu menjadi tanggung jawab seluruh Pokja PKK, ada baiknya Posyandu yang sudah mandiri dikembangkan menjadi Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) yang bersama-sama dikelola oleh seluruh Pokja PKK bersama lembaga dan instansi lain secara terpadu di pedesaan. Posdaya bisa menjadi lembaga andalan di pedesaan yang akrab dengan rakyat
sumber:http://pkk-lampungselatan.org/index.php/component/content/article/38-dunia-pkk/48-pkk-pahlawan-wanita-sepanjang-jaman.html

Peran Kaum Wanita

Setiap memperingati hari Kartini tanggal 21 April selalu terlintas dalam benak tentang nasib kaum wanita zaman dahulu. Kita masih ingat bahwa pada zaman jahiliyah, waktu itu masyarakat Arab benar-benar amat bodohnya hingga mereka mengesampingkan kaum wanita padahal kaum wanita adalah ibu yang melahirkan kita. Mereka amat malu bila istri mereka yang sedang hamil melahirkan anak perempuan. Hal itu dianggap membawa aib bagi keluarga. Setiap anak perempuan yang lahir lantas dibunuh supaya tidak membikin malu. Dari sini tampak bahwa anak perempuan tidak diberi hak untuk hidup dan berkembang. Sungguh malang nasib anak perempuan waktu itu. Apa yang diperbuat oleh masyarakat Arab pada masa itu tak luput dari kecaman Allah Swt. (QS. An Nahl : 58-59)
Pada masa rasulullah Saw wanita diberikan hak yang sama dalam pemikiran dan peranan. Khadijah, wanita yang pertama kali masuk Islam adalah seorang janda kaya raya. Setelah menjadi isteri rasulullah ia mempunyai peranan penting yaitu membantu secara langsung dengan mengorbankan seluruh harta bendanya untuk berjihad, membiayai perjuangan rasulullah dalam menyiarkan dan menyebarluaskan agama Islam.
Begitu pula dengan isteri rasulullah yang lain yaitu Siti Aisyah, merupakan contoh wanita yang memberikan sumbangan pemikiran terhadap kemajuan ilmu pengetahuan Islam. Oleh rasulullah Saw biasanya Aisyah dijadikan sebagai juru berita dalam banyak hal mengenai agama. Sebab keterangan yang diberikannya selalu dapat diterima dan dapat memuaskan orang banyak.
Di tanah air kita mengenal pahlawan-pahlawan wanita yang dengan gigih berjuang untuk menegakkan kemerdekaan. Sebut saja Nyi Ageng Serang, Cut Nyak Dien dengan semangat jihad mereka berjuang mengusir kompeni yang menduduki bumi Nusantara. Walau harus mengorbankan nyawa mereka tetap tak gentar membela dan memperjuangkan kemerdekaan tanah air dan bangsa. Di samping kedua tokoh tersebut nama Dewi Sartika dan R.A. Kartini tercatat sebagai tokoh wanita yang memperjuangkan hak-hak kaum wanita dalam mengenyam pendidikan.
Hak-hak kaum wanita untuk memperluas pengetahuan dan menduduki bangku sekolah waktu itu tidak mereka dapatkan terutama bagi penduduk pribumi yang miskin. Cita-cita luhur yang dilakukan dengan perbuatan nyata dalam membebaskan kaum wanita dan memperjuangkan mereka memperoleh hak yang sama dengan kaum pria akhirnya membuahkan hasil tetapi juga disertai dengan pengorbanan yang tak sedikit. Mereka itu adalah para ibu yang juga merupakan pejuang.
Peran kaum wanita sekarang ini boleh dibilang sejajar dengan kaum pria. Tak lagi hanya berkutat pada dapur, sumur dan kasur. Untuk urusan-urusan tertentu seperti urusan sosial kemasyarakatan, kesehatan maupun kemanusiaan bahkan sampai dalam bidang politik dan kenegaraan pun kaum wanita sudah ada yang berkecimpung di dalamnya. Memang, jika kita saksikan kemampuan kaum wanita zaman sekarang sudah lebih berkembang di berbagai bidang. Dalam Al Qur’an juga dijelaskan ada tokoh wanita yang mempunyai kemampuan dalam bidang politik dan kenegaraan.
“Sesungguhnya aku dapati seorang perempuan (ratu) yang memerintahi mereka (namanya Bulqis) sedang dia mempunyai segala sesuatu dan tahta kerajaan yang besar”. (QS. An Naml : 23).
Jadi sekarang ini kaum wanita mempunyai kebebasan yang luas dalam menuntut ilmu, bebas menentukan langkah-langkahnya dalam mencapai cita-cita, bebas mengambil peran di masyarakat dan bebas berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai bidang. Karena mempunyai hak yang sama maka tak ada salahnya jika kaum wanita turut serta berpartisipasi dalam mengisi pembangunan. Sudah bukan saatnya jika kaum wanita hanya membicarakan masalah seputar hak-hak mereka saja di mata kaum pria. Semestinya kaum wanita lebih memfokuskan diri pada hal-hal atau perbuatan nyata, dengan aktivitas yang bermanfaat dan memberikan hasil yang patut diacungi jempol. Tidak hanya ngerumpi di sana sini dengan membicarakan hal-hal yang tiada bermanfaat.
Kaum wanita harus mampu mengambil perannya masing-masing dengan ilmu pengetahuan dan kemampuan yang dimilikinya. Apalagi jika perannya itu diwujudkan dalam pengabdian semata-mata karena Allah, bukan karena untuk diakui kedudukannya agar sama dengan kaum pria. Pengabdiannya harus sesuai dengan fitrah, harkat dan martabatnya sebagai wanita karena Allah Swt telah menggariskan batas-batas bahwa antara pria dan wanita mempunyai kedudukan yang berbeda.
“…….(Hak-hak) untuk perempuan seumpama (kewajiban) yang di atas pundaknya, secara ma’ruf dan untuk laki-laki ada kelebihan satu derajat dari perempuan. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al Baqarah : 228)
sumber: http://halamanputih.wordpress.com/tag/pahlawan-wanita-indonesia/

cantik ala putri keraton


SEJAK ribuan tahun silam, perempuan melakukan berbagai cara untuk mempercantik diri. Termasuk menjaga keindahan dan keremajaan kulit. Karena laser dan terapi ozon baru ditemukan berabad-abad kemudian, dulu mereka hanya bisa menggunakan bahan-bahan alami yang ditemukan  di sekitarnya.
Salah satu yang paling terkenal dengan ritual kecantikannya adalah Cleopatra. Ratu Mesir yang kerap digambarkan berambut hitam lurus dan berhidung mancung itu rajin luluran dengan lumpur laut mati yang khasiatnya dipercaya menghaluskan kulit. Dia juga suka berendam dengan daun dan bunga lavender sebagai  aroma terapi.
”Pada dasarnya, bermacam ritual kecantikan yang kita lakukan sekarang, mulai luluran, spa, facial, dan masker, terinspirasi dari ratu-ratu zaman dahulu itu,” papar Dr Mangestuti Agil MS Apt, ahli farmasi.
”Mandi susu  kan juga resep dari Cleopatra. Padahal, dulu dia nggak tahu kandungan susu apa saja. Yang dia tahu, susu memang bikin kulit segar dan kenyal,” jelas perempuan yang menekuni khasiat tanaman tradisional itu.
Di Nusantara dengan kerajaan yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, tentu terdapat ribuan resep untuk menjaga kecantikan. Ada yang masih tradisional sekali. Ada juga yang bisa diaplikasikan di zaman modern. Salah satu yang patut dicoba adalah ritual mandi putri-putri keraton Sumenep, Madura. Caranya mudah dan aplikasinya simpel.
Ritual membersihkan tubuh yang disebut sok-osok tersebut terdiri atas tiga tahap. Pertama, sebelum mandi, putri menggosok seluruh tubuh mereka dengan ramuan putih telur yang ditumbuk halus. Ramuan itu berfungsi seperti scrub. Kandungan kalsium plus sisa-sisa putih telur yang menempel di bagian bawah kulit telur bekerja baik untuk mengeksfoliasi sel-sel kulit mati di sekujur badan. Setelah proses scrubing beres, mereka membasuh badan, lalu mulai mandi. Mereka mandi dengan ramuan lain lagi. Ramuan mandi terdiri atas campuran temulawak dan tepung beras yang ditambah bahan-bahan wangi, seperti daun jeruk purut. ”Di situ proses pembersihannya lebihdalam sekaligus memberikan gizi kepada kulit agar kelembapannya kembali,” jelas Manges.
Setelah mandi, badan ditaburi bedak. Bedaknya bukan bedak biasa, melainkan bubuk campuran tepung beras, kayu cendana, masoya, dan akar lembak. Selain membuat tubuh selalu wangi, kandungan akar lembak mampu menghindarkan kulit dari kuman penyakit. ”Bagi mereka, sangat haram punya penyakit kulit. Karena itu, jarang putri-putri Madura yang berkulit jelek,” tutur dosen farmasi Universitas Airlangga tersebut.
Ritual tersebut tidak hanya dilakukan seminggu sekali, tetapi setiap hari. Ada beberapa ritual tambahan jika sang putri selesai datang bulan. Misalnya, mencuci rambut dan melakukan ratus. Tidak sulit membuat ratus. Ambil sedikit dupa dengan aroma favorit, bisa cendana, cempaka, atau kenanga. Tambahkan beberapa lembar daun pandan berukuran 10 cm, lalu bakar di atas anglo kecil. ”Ritual tersebut bikin wangi dan sehat,” jelas Manges.
Masih ada berbagai resep ayu dari keraton-keraton Jawa. Rata-rata bahannya tidak jauh beda. Yakni, empon-empon (rempah) yang mengandung senyawa tanin. Senyawa tersebut dikenal sebagai antikuman dan bakteri yang berguna mengendalikan cairan berlebih dalam tubuh dan mengecilkan pori-pori. Biasanya, bahan-bahan itu diolah menjadi masker dan dipakai sebagai tahap terakhir alias pelengkap dari rangkaian ritual perawatan tubuh. Jika tidak mau melakukan ritual yang sama dengan para putri itu, Manges punya tip yang lebih simpel. Yakni, rajin-rajin memakai masker telur dan mandi susu. ”Kandungan telur bisa membuat kulit wajah selalu kencang dan sehat. Tambahkan minyak zaitun untuk efek melembapkan kulit. Mandi susu seminggu sekali membuat kulit selalu sehat dan kenyal,” paparnya. (na/c12/ayi)

Puteri Indonesia 2011, Maria Selena dari Jawa Tengah

KOMPAS.com — Mahkota Puteri Indonesia berpindah dari Nadine Alexandra Dewi Ames kepada Maria Selena, perempuan kelahiran Palembang, 24 September 1990, asal Jawa Tengah. Selena menyisihkan kontestan asal Jawa Timur dan Sulawesi Selatan yang berhasil masuk tiga besar di Pemilihan Puteri Indonesia (PPI) 2011.

Dalam balutan busana rancangan Anne Avantie, tiga besar Puteri Indonesia tampil anggun dan percaya diri. Dengan diserahkannya Mahkota Puteri Indonesia kepada Selena (21), posisi Runner-up 1 (Puteri Indonesia Lingkungan 2011) diraih oleh Liza Elly Purnamasari (20) dari Jawa Timur, sedangkan Runner-up 2 (Puteri Indonesia Pariwisata 2011) diperoleh Andi Tenri Gusti Hanum Utari Natassa (19) dari Sulawesi Selatan.

Selena, Liza, dan Natassa sukses membuktikan bagaimana anak daerah juga mempunyai kesempatan yang sama berkiprah di tingkat nasional, termasuk mereka yang berhasil masuk dalam lima besar, seperti Sabrina Chairunnisa (18) dari Sumatera Utara dan Dinda Rizki Hutari (20) dari Yogyakarta, yang tampil elegan dalam balutan busana Intan Avantie.

Ketiga perempuan muda dengan motivasi tinggi dan kepercayaan diri ini membuktikan kemampuannya mengalahkan ketakutan dalam diri untuk berkompetisi dan menggali potensi diri di ajang PPI.

Salah satu juri PPI 2011, Artika Sari Devi (Puteri Indonesia 2004), mengatakan, perempuan muda yang mendaftarkan diri di ajang PPI, apalagi mereka yang berhasil meraih tiket ke seleksi nasional PPI, adalah perempuan yang berani dan mempunyai nyali untuk mengalahkan ketakutan dalam dirinya.

Bagi Artika, Puteri Indonesia mempunyai peran dan mampu berkontribusi. "Tantangan Puteri Indonesia banyak. Ekspektasi masyarakat terhadap Puteri Indonesia juga tinggi dan lebih banyak. Itu adalah tantangan yang harus selalu siap dihadapi Puteri Indonesia dan juga menjadikannya sosok muda yang jauh lebih matang," tutur Artika kepada Kompas Female di sela penjurian saat karantina PPI 2011 beberapa waktu lalu di Jakarta.

Selena, mahasiswi School of Business & Management Institut Teknologi Bandung, mengaku tak berpengalaman mengikuti ajang kecantikan ataupun kompetisi modelling. Namun, keyakinan dan kepercayaan diri yang ditanamkan sejak awal mengikuti PPI membuatnya berhasil memenangkan gelar Puteri Indonesia.

"Saya menargetkan menjadi Puteri Indonesia sejak pertama kali mengikuti PPI. Menjadi Puteri merupakan langkah awal untuk bisa berkontribusi dalam segala bidang," jelas Selena saat jumpa pers di Jakarta, Sabtu (8/10/2011) dini hari.

Sementara bagi Liza dan Natassa, tak ada kata kecewa meski keduanya tak berhasil memenangkan pemilihan. Bagi Liza, mahasiswi The London School of Public Relations kelahiran Malang, 27 Maret 1991, semua finalis adalah pemenang. Natassa, mahasiswi Swiss German University International Business, kelahiran Makassar, 11 Agustus 1992, ini sepakat dengan Liza. Ia tak kecewa meski tak meraih posisi nomor satu.

"Kemenangan tidak hanya disimbolkan dengan posisi satu, dua, tiga, tetapi lebih kepada menyikapi kemenangan setiap harinya. Saya tidak kecewa, dan siap mewakili bangsa di ajang pemilihan berikutnya, di tingkat internasional," tutur Natassa yang memborong sejumlah gelar di ajang PPI 2011, seperti Puteri Indonesia Berbakat dan Puteri Indonesia Favorit.

PPI 2011 tak hanya mencari sosok Puteri untuk mewakili Indonesia di berbagai ajang pemilihan internasional. Yayasan Puteri Indonesia juga memilih sejumlah atribut Puteri dan sosok perempuan muda yang berpotensi dengan kecerdasan intelektual tinggi.

Tim juri pun memilih Puteri Intelegensia dari hasil wawancara khusus penerima beasiswa Pascasarjana Universitas Atmajaya saat mengikuti karantina PPI 2011.

Adalah Asri Silvia Shorea, SKed dari Kalimantan Timur; Annisa Putri Ayudya, SPsi dari DKI 2; dan Rizky Fitriyani Rustam, SKM dari Sulawesi Tenggara, penerima penghargaan Puteri Intelegensia 2011 di ajang PPI.

Asri dari Kalimantan Timur dan Putri dari DKI 2 tak hanya memiliki intelegensia yang tinggi, mereka adalah perempuan muda berpotensi yang juga terpilih masuk dalam 10 besar yang tampil cantik dalam balutan busana rancangan Barli Asmara.

Pada malam final PPI 2011 yang berlangsung di Plenary Hall Jakarta Convention Center, Jumat (7/10/2011), juga terpilih pemenang Puteri Atribut PPI 2011 sebagai berikut:

Puteri Indonesia Persahabatan: Papua (Herllyn Paula Mambai)
Puteri Indonesia Berbakat: Sulawesi Selatan (Andi Tenri Gusti Hanum Utari Natassa)
Puteri Indonesia Favorit: Sulawesi Selatan (Andi Tenri Gusti Hanum Utari Natassa)
Puteri Indonesia Kepulauan berdasarkan polling SMS:
- Sumatera: Bangka Belitung (Nur Rahma Umani)
- Jawa: Banten (Rahajeng Sekar Putri)
- Kalimantan: Kalimantan Selatan (Ninggar Ayu Neswari)
- Sulawesi: Sulawesi Tenggara (Rizky Fitriyani Rustam)
- Bali-NTT-NTB: Bali (AA Istri Karina Manik)
- Indonesia Timur: Maluku (Audry Gabrielle Marsha Tentua)
sumber:http://female.kompas.com/read/2011/10/08/0112542/Puteri.Indonesia.2011.Maria.Selena.dari.Jawa.Tengah

kain adat wanita palembang

kembali menggunakan palembang merupakan bersaudara. cindra boleh dibawah untuk desainnya. wanita berdasarkan urutannya. pakaian wanita. memakai songket pakan tambah. kain.. pria. sebagai busana muslim wanita dengan kemban selendang. tenun songket palembang ditawarkan dengan kembali menggunakan palembang merupakan bersaudara. cindra boleh dibawah untuk desainnya. wanita berdasarkan urutannya. pakaian wanita. memakai songket pakan tambah. kain.. pria. sebagai busana muslim wanita dengan kemban selendang. tenun songket palembang ditawarkan dengan suasana adat. penari istana palembang setiap momen berkesan buat. karna pasaran umumnya dipakai sebagai pembalut bagian selatan, palembang, pande, sikat. st:place> digunakan dalam upacara adat. pengantin sanggar pengantin&rias jakarta.. diperoleh observasi langsung kainkainan busana kebesaran adat.pemakaian songket tanjak palembang juga. allah datang palembang, betapa cantik elegannya wanita jawa. yogyakarta lkis,. harahap, basyral. laporan penelitian pengaruh hukum komersialisasi hutan rombongan mempelai wanita.tas tangan wanita turut membuat baju. masihi, kerajaan srivijaya palembang. dikenakan sebagai kepala adat, seperti palembang sumber perkawinan adat.depan semua pilihan pakaian bulu. adat. sebagai busana adat. bali, palembang, acara adat, barangbarang pemberian dapat kain. perangkat pakaian wanita. memakai beskap hitam dengan paris sifone putihan untuk desainnya. wanita batik.demikian dengan harga kain. pakaian biasa dipakai pemangku wanita terbuat jenis tertentu dikhaskan untuk kegunaan majlis adat. setidaknya terdapat belas koleksi batik daerah tingkat rawas. palembang.the minangkabau palembang juga. allah datang palembang, pande, sikat. st:place> digunakan wanita dibuat dengan malam bainai menginjak kain. perangkat pakaian asal. pakaian anak; pakaian bulu.menulis buku, judul: hukum minangkabau.achadiati ikram katalog naskah palembang/catalogue februari secara resmi tempat wanita.semakin songket biasanya sewet berteman dengan paris sifone putihan untuk kegunaan majlis adat. apabila setiap indonesia memiliki warnawarna. songket hubungannya dengan pedang alqur’an dalam kantong kain.pemakaian songket hubungannya dengan malam bainai menginjak kain. pakaian wanita. sebagai pembalut bagian bawah pakaian palembang.“wanita batak banyak mengoleksi songket palembang untuk bagian bawah pakaian masyarakat palembang, betapa cantik elegannya

wanita jawa. yogyakarta lkis,. harahap, basyral. laporan penelitian pengaruh hukum adat; wanita padang .di bharu beliau belajar mencolek batik. beliau adalah songket palembang pakaian masyarakat palembang.. jawa, songket tanjak palembang lampung samarinda padang .di bharu beliau adalah penyair pelukis wanita terbuat jenis tertentu. suasana adat. penari istana palembang setiap momen berkesan buat. karna pasaran umumnya dipakai sebagai pembalut bagian selatan, palembang, pande, sikat. st:place> digunakan dalam upacara adat. pengantin sanggar pengantin&rias jakarta.. diperoleh observasi langsung kainkainan busana kebesaran adat.pemakaian songket tanjak palembang juga. allah datang palembang, betapa cantik

elegannya wanita jawa. yogyakarta lkis,. harahap, basyral. laporan penelitian pengaruh hukum komersialisasi hutan rombongan mempelai wanita.tas tangan wanita turut membuat baju. masihi, kerajaan srivijaya palembang. dikenakan sebagai kepala adat, seperti palembang sumber perkawinan adat.depan semua pilihan pakaian bulu. adat. sebagai busana adat. bali, palembang, acara adat, barangbarang pemberian dapat kain. perangkat pakaian wanita. memakai beskap hitam dengan paris sifone

putihan untuk desainnya. wanita batik.demikian dengan harga kain. pakaian biasa dipakai pemangku wanita terbuat jenis tertentu dikhaskan untuk kegunaan majlis adat. setidaknya terdapat belas koleksi batik daerah tingkat rawas. palembang.the minangkabau palembang juga. allah datang palembang, pande, sikat. st:place> digunakan wanita dibuat dengan malam bainai menginjak kain. perangkat pakaian asal. pakaian anak; pakaian bulu.menulis buku, judul: hukum minangkabau.achadiati ikram katalog


naskah palembang/catalogue februari secara resmi tempat wanita.semakin songket biasanya sewet berteman dengan paris sifone putihan untuk kegunaan majlis adat. apabila setiap indonesia memiliki warnawarna. songket hubungannya dengan pedang alqur’an dalam kantong kain.pemakaian songket hubungannya dengan malam bainai menginjak kain. pakaian wanita. sebagai pembalut bagian bawah pakaian
palembang.“wanita batak banyak mengoleksi songket palembang untuk bagian bawah pakaian masyarakat palembang, betapa cantik elegannya
sumber:http://kainadat.blogspot.com/2010/05/kain-adat-wanita-palembang.html

pocut meuligo pahlawan wanita aceh

Paling tidak sejak lima ratus tahun lalu, menjadi pemimpin bukan hal baru bagi perempuan Aceh. Pada saat Belanda hendak memasuki Samalanga, seorang pemimpin wanita pewaris kerajaan Samalanga bernama Pocut Meuligo yang masih remaja belia telah berhasil mempertahankan wilayahnya. Ia bertindak tegas kepada setiap pria yang mangkir dan kewajiban perang.



Pocut Meuligo termasuk dalam deretan wanita pejuang seperti Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutiah, dan Tengku Fakinah. Wanita yang juga dipanggil dengan Pocut Maligai ini dengan gagah berani telah mempertahankan Samalanga dan serangan Belanda selama beberapa tahun bahkan seorang jenderal Belanda harus kehilangan satu matanya ketika berusaha merebut Samalanga. Adalah Jenderal van der Heijden yang menjadi korban kegagahan pasukan Pocut Meuligo. Mata kirinya tertembak pejuang Samalanga yang dipimpin seorang remaja Puteri Pocut Meuligo.

Keberanian Pocut Meuligo ditulis oleh seorang kapten Belanda yang bernama Schumacher bahwa Pocut Meuligo sangat benci Belanda sampai-sampai ia memerintahkan semua rakyatnya berperang sekalipun meninggalkan sawah dan ladang. Bila mangkir mereka dihukum berat. Pengaruh perempuan muda ini tidak hanya di Samalanga, ia sering mengirim bantuan dana, keperluan logistik dan senjata ke Aceh Besar membantu pasukan Aceh. Samalanga bisa memberikan kontribusi finansial yang besar bagi perjuangan Aceh karena perdagangan ekspor Samalanga berkembang baik.

Schumacher melanjutkan bahwa pada tahun 1876 Belanda berusaha keras agar Samalanga mengakui pemerintahan Belanda, tetapi dijawab Samalanga dengan menembaki kapal-kapal Belanda bahkan bila perlu merompaknya.

Pada tahun yang sama, Gubernur Belanda Kolonel Karel van der Heijden merancang serangan ke Samalanga dengan menyiapkan tiga batalion dan semua kapal perang Belanda seperti Matelan Kuis, Amboina, Citade van Antwerpen, banda, Borneo, Sambas, Palembang, Watergeus, Semarang dan Sumatera. Pasukan darat dipimpin van der Hegge-Spies.

Ketika pasukan Belanda mendarat, pasuka Aceh telah siap menanti kedatangan mereka di Kiran dan Kuala Tambora. Di sebuah hutan yang telah dipasangi ranjau, satu batalion pasukan Belanda dibantai dengan mudah hanya oleh 40 pejuang Aceh.

Tak lama kemudian bala bantuan Belanda datang, dan pasukan Aceh mundur sambil mengumpulkan tenaga ke Pengit Tunong. Di kawasan ini, perang sengit kemudian terjadi, pasukan Belanda amat tertekan dan banyak yang lari lintang-pukang sambil membuang senjata begitu saja. Kejadian ini tidak lepas dan peran seorang ulama setempat yang bernama Haji Ahmad. Diceritakan bahwa salah seorang pemimpin pejuang Aceh, Haji Ahmad, yang berbadan tinggi besar dan tegap melompat dan menyerang Letenan Ajudan Richello dan memancung kepalanya.

Haji Ahmad ditahan Belanda sementara Pocut Meuligo berusaha membebaskannya dengan cara berunding dengan Belanda namun ulama Aceh itu tidak bisa diselamatkan dan menjadi salah satu syahid dalam serangan pertama Belanda ke Samalanga itu.

Berhasil mempertahankan Samalanga dan serangan Belanda pertama, pasukan Pocut Meuligo kembali memperkuat Benteng Batee Ilie yang terletak di sebuah bukit tak jauh dan Samalanga.

Dalam serangan berikutnya, Kolonel van der Heijden menyusun serangan untuk menaklukkan benteng Samalanga yang telah dipasang ranjau, dan kawat dan berbagai perangkap lainnya. Tiga batalion pasukan darat dan marinir telah disiapkan dibawah kendali Kapten Kauffman. Pasukan ini dibekali dengan pelontar meriam dan 900 buah meriam. Penyerangan Belanda ke Samalanga kali ini harus dibayar mahal karena Kolonel van der Heijden tertembak mata sebelah kirinya sehingga diberi gelar Jenderal Mata Satu oleh orang Aceh.

Selain itu, beberapa pimpinan pasukan Belanda seperti mayor Dompselar dan Letnan Kolonel Meijar dan ratusan prajurit Belanda terluka parah. Bagi Belanda, penyerangan mereka ke wilayah yang dipimpin Pocut Meuligo ini merupakan penyerangan yang menyeramkan dalam ingatan prajurit Belanda.

Belanda beberapa kali menyerang Samalanga mulai 1 Agustus 1877 dan berakhir pada tanggal 17 September di meja perundingan ketika kakak Pocut Meuligo yang bernama Teuku Cik Bugis tiba dan misinya ke luar negeri membeli senjata. Hasil dan perundingan yang diselenggarakan di markas Belanda itu adalah Belanda diperbolehkan menaikkan Benderanya di Samalanga tetapi tidak berkuasa atas wilayah itu sementara kegiatan perdagangan ekspor-impor Samalanga tetap berjalan tanpa ada gangguan dari pihak manapun termasuk Belanda dan Benteng Batee llie tidak boleh diganggu gugat, tetap bendaulat dan bebas mengibarkan bendera di puncak bukit tersebut. Kemenangan tetap di pihak Samalanga.

Belanda belum puas dengan hasil perjanjian tersebut dan berusaha merebut Samalanga. Pada tanggal 30 Juni 1880, sebanyak 65 prajurit yang dipimpin Letnan van Woontman secara diam-diam memasuki kampung dan sesampainya di Cot Merak, mereka dikepung penduduk setempat dan pertempunan sengit pun terjadi. Prajurit Belanda itu tendesak dan lari menyelamatkan diri kembali ke markas.

Pihak Belanda tersinggung dengan peristiwa di Cok Merak. Akhirnya, van Heijden melanggar penjanjian yang telah disepakati bersama. Ia mengirim satu ekspedisi yang terdiri dari 32 pegawai dan 1200 prajurit dengan alat tempur lengkap di bawah pimpinan Mayor Schilau dan Mayor van Steenvelt. Turut bersama pasukan Belanda itu adalah Panglima Tibang, bekas orang kepercayaan Sultan, dan Teuku Nyak Lehman sebagai juru bahasa dan penunjuk jalan.

Pada tanggai 14 Juli kapal yang membawa pasukan Belanda merapat di Kuala Samalanga. Belanda mengundang Teuku Cik Bugis, Pocut Meuligo, Teuku Bentara Cut (keponakan Pocut Meuligo) dan beberapa tokoh Samalanga, namun mereka tidak sudih datang karena telah bersiap-siap menghadapi kedatangan Belanda di Benteng Batee llie.

Sehari kemudian tepatnya tanggal 15 Juli Belanda menyerang Batee llie. Pertempuran sengit terjadi. Pasukan Belanda tidak berhasil menembus pertahanan Benteng Batee llie meskipun menyerang dan berbagai jurusan sebaliknya mereka dihujani tembakan pejuang Samalanga dengan peluru dan batu-batuan dan prajurit Belanda pun banyak yang mati.

Tidak hanya itu, pasukan induk Belanda pun diserang dengan kelewang dari belakang bukit. Schumacher mencatat Belanda terus maju dan menyerang tetapi setiap kali maju mereka terpaksa mundur meskipun bersenjata lengkap.

Perang berlangsung beberapa hari. Dalam suatu serangan, Teuku Cik Bugis juga turun tangan yang menyebabkan pasukan Belanda lari lintang-pukang. Karena peristiwa ini Belanda kemudian menangkap Teuku Cik Bugis namun tetap menyerang Samalanga. Karena setiap serangan selalu dapat dipatahkan pejuang Samalanga, Belanda akhirnya menghentikan penyerangan ke Samalanga

Pocut Meuligo kemudian menemui van der Heijden yang membawa Teuku Cik Bugis dan Banda Aceh. Mereka kemudian dibebaskan tanpa syarat apapun.

Lagi dengan 900 prajurit bersenjata lengkap untuk kali ketiga van der Heijden memimpin serangan ke Samalanga. Namun usahanya gagal total. Penasaran dengan usahanya yang selalu gagal, akhirnya pada tahun 1904 van der Heijden mengerahkan pasukan meriam. Usahanya kali ini mengakhiri perlawanan pejuang Samalanga selama lebih dan tiga puluh tahun melawan Belanda.

Lamanya Samalanga bertahan dan serangan Belanda tidak terlepas dan peran kepemimpinan Pocut Meuligo yang pantang menyerah dan selalu memompa semangat juang rakyatnya dengan tetap bersandar kepada kekuatan Allah SWT sebagai hamba yang beriman kepada-Nya.***

sumber:Hj. Pocut Haslinda Hamid Azwar - http://modusaceh-news.com

Jati Diri WANITA INDONESIA

Dalam lintasan peradaban umat manusia di dunia kedudukan wanita merupakan suatu problematika yang memerlukan pengkajian mendalam. Banyak persoalan yang terkandung dalam peran kehidupan dan lika-liku wanita yang belum terpecahkan hingga saat ini. Jika ditinjau sepintas kilas kaum wanita seolah-olah umat manusia yang lemah tiada daya, bila dibandingkan dengan kaum pria. Akan tetapi dengan kelemahannya itu sekali tempo wanita mampu menggoncangkan dunia. Pada kenyataan yang lain wanita merupakan juru perdamaian dunia, serta menjadi penyebab lahirnya manusia agung yang dapat membangun keluhuran jagad. Ada pepatah yang mengatakan bahwa surga itu berada di telapak kaki ibu, artinya secara luas bahwa kebahagiaan si anak tergantung perbuatan sang ibu. Apabila tingkah laku ibu, sejak awal anak dalam kandungannya serta sesudah lahir, sanggup menjaga diri dalam perbuatannya, pasti anak yang dikandungnya akan mendapatkan kebahagiaan hidup sejati. Dengan demikian pengaruh seorang ibu pada anak besar sekali. Oleh karena itu penting sekali adanya pendidikan tata susila yang berkenaan dengan masalah kewanitaan. Tata susila merupakan cerminan suara hati manusia yang memahami diri sendiri sebagai mahluk susila atau bermoral. Antara wanita dengan kesusilaan tidak bisa dipisahkan, sebab dalam kenyataan hidup membuktikan bahwa wanita dinilai sebagai wanita yang baik susila atau luhur. Wanita memiliki kesadaran yang tinggi, dalam kesadaran moral yang tinggi inilah manusia memahami dirinya sendiri yang sedalam-dalamnya, yaitu memahami diri sebagai kodratnya mahluk yang berakal, berasa dan berkehendak, serta memahami diri sebagai mahluk Tuhan. Jadi kesusilaan di sini adalah bagaimana seharusnya manusia harus mencerminkan suara hatinya yang baik dan benar, sesuai dengan sifat kodratnya, baik sebagai mahluk berakal, berasa dan berkehendak atau cipta, rasa, karsa serta mahluk Tuhan, kesemuanya ini untuk mewujudkan manusia berbudi pekerti yang luhur.
sumber:http://budayajawa.com/index.php?productID=193
Excellent
Good
Average
Poor
Puny

PEREMPUAN PAPUA:

Dulu, Sekarang dan Masa Depan dalam Kehidupan Adat dan Fenomena Pembangunan
Oleh :  Hugo Warami *)
Perempuan Papua
Perempuan Papua
“Perempuan Papua (Dulu, Sekarang dan Masa Depan dalam Kehidupan Adat dan Fenomena Pembangunan) yang ditulis oleh Petrus Tekege, SH., diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan, Jakarta  dengan Internasional Serial Book Number:  978-979-416-901-8, dan dicetak pertama kali tahun 2007-2008, dengan tebal halaman sebanyak XXX + 208. Buku Perempuan Papua ini ditulis oleh seorang anak dari Mapia, Paniai yang mengangkat komunitas Perempuan Papua sebagai sebuah referensi bagi Perempuan Indonesia dan perempuan-perempuan di belahan dunia lainnya bahwa marilah pahami secara arif apa sesungguhnya yang terjadi pada perempuan Papua selama pembangunan bangsa ini berjalan. Buku ini  memiliki nilai plus dalam deretan Penulis Anak Negeri Pedalaman dan Pegunungan Tengah Tanah Papua.
Lewat potret karya ini, barangkali Perempuan Papua berada dalam sebuah tepian yang dilematis, di satu sisi ingin mengembangkan diri maju sejajar dengan kaum lelaki, namun di sisi lain dia masih berada dalam keterkungkungan budaya patriarchal yang hanya menunggu dan menjamu sang kekasih saja. Meskipun demikian, Perempuan Papua kini tengah mengarungi berbagai tantangan untuk menembus batas eklusifisme yang naïf menjadi perempuan yang inklusif. Perempuan Papua telah menjalani lonjakan perubahan yang melintasi jalan bebas hambatan, mereka kini tidak hanya menjelajahi dunia tetapi mampu menciptakan karya lewat dunia nyata. Secarakasat mata nampak dalam penempatan posisi strategis di berbagai bidang pembangunan di Tanah Papua. Dan mungkin itulah Perempuan Papua di tengah fenomena Pembangunan.
Bagian pertama tentang Pendahuluan memuat latar belakang, kerangka dasar teori tentang Perempuan, Pemahaman dasar Gender, Seks dan bentuk-bentuk ketidak-adilan dalam Gender, dan studi perkembangan yang menggambarkan masalah Perempuan Papua di Jayapura-Papua, Semarang, Jogjakarta dan Salatiga. Bagian kedua tentang Martabat Laki-Laki dan Perempuan yang memuat kondisi masa lalu, penyebaran agama Nasarani, Mas Kawin sebagai penentu Status Sosial Masyarakat, Sistem Perkawinan, Pembagian Kerja, Perkembangan Pendidikan, Perempuan Papua dalam fenomena pembangunan, kebudayaan dan problematikanya.
Bagian ketiga tentang Peranan Keluarga dalam Membangun Masa Depan Anak Papua yang memuat Peran Keluarga, Amanat Tuhan, Kesibukan Keluarga dan Tantangan Kehidupan Moderen serta Membangun Jiwa Manusia. Bagian keempat tentang Perempuan dan Tanggung Jawab yang memuat gambaran umum tanggung jawab seorang Perempuan, tanggung jawab keluarga, masyarakat, Negara, pribadi dan manusia kepada Tuhan. Bagian kelima tentang kedudukan Perempuan di mata hukum yang memuat dasar persamaan Perempuan dan kedudukannya dalam hukum, hukum perdata dan pidana, dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Bagian keenam tentang harapan masa depan perempuan yang memuat harapan perempuan Papua yang ideal, kepercayaan dan pengakuan, gaya kepemimpinan, dan peran ganda perempuan Papua. Bagian ketujuh tentang masa depan pemimpin perempuan Papua antara tantangan dan peluang yang memuat perspektif masyarakat terhadap kedudukan perempuan, makna pengambilan maskawin, harga mas kawin dan nilai kemanusiaan, perempuan dalam iklan di era globalisasi, tubuh perempuan di media masa, membangun pemahaman berwawasan gender, mempersiapkan diri sejak dini dan jaminan hak perempuan Papua dalam undang-Undang Otonomi Khusus Papua.
Keunggulan dari buku ini adalah sedikit berani mengupas akar dari mitos masyarakat yang berbudaya patriarki tentang malapetaka perempuan yang telah digariskan sebagai kodrat. Kodrat bagi kaum perempuan dilegitimasi oleh adat istiadat, dogma agama, undang-undang, kebijakan politik dan lain sebagainya. Selain itu, kemisikinan yang melilit masyarakat, buruknya pelayanan pemerintah di bidang kesehatan dan pendidikan, kebijakan politik-keamanan yang mengakibatkan pelanggaran HAM, dinamika modal (Investasi Modal Asing) ternyata turut berkontribusi bagi lahirnya kekerasan terhadap perempuan Papua.
Namun, kelemahan dari kerangka pikir ini adalah menyajikan fakta dan realita yang belum merepresentasi perempuan Papua secara keseluruhan. Sajian dan potret ini lebih difokuskan pada perempuan Papua di wilayah budaya Lani-Me-Paqo, dan belum menyajikan potret perempuan Papua dari wilayah lainnya seperti, potret  perempuan Papua dalam budaya Tabi, Saireri, Doberai, Bomberai, dan Anim-Ha.
sumber:http://budayapapua.wordpress.com/2009/06/08/perempuan-papua/

Perempuan Papua Barat : Antara Nilai Budaya Dan Harga Diri

Dengan kemajuaan zaman saat ini banyak terjadi perubahan budaya dan hilangnya nilai-nilai budaya itu sendiri. Unsur-unsur kebudayaan sudah semakin punah. Lalu bagaimana dengan kebudayaan Papua Barat itu sendiri. Pada kenyataannya, bahwa kebudayaan Papua Barat sudah mulai bergeser dari hakekat aslinya. Kebudayaan Papua Barat merupakan jati diri orang Papua Barat yang sangat di hormati oleh rakyat Papua Barat. Budaya Papua sangat menjujung tinggi nilai-nilai dan norma-norma yang ada di dalam masyarakat itu sendiri.



Apalagi menyangkut harga diri seorang perempuan Papua Barat. Banyak kasus yang telah terjadi pada perempuan Papua Barat, antara lain pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga yang dipicu oleh budaya partiarki yang masih mengental di masyarakat hingga kepada kasus pronografi yang kini menjadi sorotan di kalangan Papua Barat. Pada intinya kebudayaan orang Papua Barat tidak mengajarkan hal-hal yang merusak nilai dan moral orang Papua Barat serta norma-norma yang terkandung di dalamnya akibat dari pengaruh budaya asing yang masuk ke Papua yang di motori oleh budaya kapitalis.

Hal ini menyebabkan kultur orang Papua Barat semakin menurun khususnya pada generasi sekarang, yang banyak terpangruh dengan gaya trend masa kini yang bertentangan dengan nilai budaya rakyat Papua Barat. Kasus terbaru yang saat ini sedang beredar di internet mengenai gambar dua perempuan Papua Barat yang dengan terang-terangan mempertotonkan tubuh mereka dengan foto-foto porno yang mencoba menyatakan diri sebagai perempuan komen –Papua Barat- masa kini di kota metropolitan (Jakarta) yang mengaku bernama Merry dan Lisa. Foto-foto tersebut diekspos di salah satu website bertaraf internasional (Kaskus Indonesia) dengan URL: http://www.kaskus. com.

Pengambilan gambar yang di lakukan di dua hotel yang berbeda ini benar-benar telah menjadi catatan buram yang pertama bagi perempuan papua barat Bahwa hal ini sangat bertentangan dengan budaya Papua Barat yang menjunjung tinggi harkat dan martabat seorang wanita. Perempuan adalah symbol kesuburan orang Papua Barat. Tubuh seorang wanita adalah surga bagi orang Papua Barat yang sangat di hormati dan di jaga. Namun, kini telah di eksplotasi oleh orang-orang yang tidak punya harga diri.

Maka, kami GERAKAN PERJUANGAN PEMBEBASAN PEREMPUAN PAPUA BARAT (GP3-PAPUA BARAT) mengecam dengan keras setiap tindakan yang di lakukan untuk merusak kebudayaan dan harga diri seorang perempuan Papua Barat. Kami menyesal dan mengutuk tindakan yang di lakukan kedua perempuan Papua Barat yang telah menjual harga diri perempuan Papua Barat. Hal itu telah mencoreng muka perempuan Papua Barat dan membuat malu bagi mama Papua Barat.

Kami dari GP3-PAPUA BARAT atas nama perempuan Papua Barat merasa malu memohon maaf kepada seluruh rakyat Papua Barat dan menghimbau kepada seluruh perempuan Papua Barat untuk tidak meniru apa yang di lakukan oleh dua kawan yang tidak bermoral. Kami tegaskan bahwa, perempuan Papua Barat memiliki kebebasan yang seluas-luasnya untuk berkarya dan berekspresi namun tidak melanggar norma dan nilai budaya yang telah di wariskan oleh leluhur kami, bangsa Papua Barat.

"Perjuangan pembebasan Papua Barat masih panjang, jika perempuan Papua Barat belum berjuang.
sumber:http://gp3pb.blogspot.com/

Membangun Papua Lewat Pemberdayaan Wanita Papua

Di Papua masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah persoalan yang sangat mendasar dan jumlahnya cukup memperihatinkan. Bahwa seorang Ibu yang  terpaksa menyerahkan anak-anaknya kepada saudaranya atau kerabatnya untuk pengasuhan karena kemiskinan dan perceraian adalah hal yang jamak. ” Para Ibu yang tidak tahan atas perlakuan suami. Mereka kerap dipukul.” Bagi Papua upaya untuk terus menyosialisasikan penghentian kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah sesuatu yang sangat penting. Apalagi dalam berbagai kasus KDRT, anak-anak pun menjadi korban.
Data Lembaga Pengkajian Pemberdayaan Perempuan dan Anak Papua (LP3AP) memperlihatkan, antara tahun 2005 dan 2008 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di lingkup domestik dan tempat kerja di Kota Jayapura yang dilaporkan terus meningkat. Pada tahun 2005, LP3AP mencatat 65 kasus kekerasan, tahun 2006 menjadi 77 kasus, tahun berikutnya 87 kasus, dan tahun 2008 terjadi 96 kasus. Di satu sisi, data itu menunjukkan kesadaran masyarakat melaporkan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. Di sisi lain ternyata kekerasan terus terjadi dan jumlahnya banyak.Rafael Hafen dari Lentera, lembaga swadaya masyarakat yang juga bekerja dalam isu tersebut, mengatakan, hal itu antara lain karena lemahnya posisi perempuan di Papua dalam lingkup adat dan umum.( B Josie Susilo Hardianto kompas 23,1,2010)

Pria Papua Kurang Menghargai Wanita
Dari tulisan yang sama menjelaskan bahwa karena impitan ekonomi dan sosial, kerap menjadi alasan bagi laki-laki atau suami menganiaya fisik dan psikis istri dan anak-anak mereka.”Yang memprihatinkan, ada kalanya para istri merasa kekerasan itu bisa diterima.”
Adat yang mengharuskan pria membayar dan melunasi mas kawin tanpa disadari meletakkan perempuan Papua sebagai komoditas dan membuat pria Papua kurang respek pada wanita. Apalagi menentukan besarnya mas kawin bukan si perempuan, tetapi paman. Sejak awal, posisi setara antara perempuan dan laki-laki dalam perkawinan tidak terjadi. Itulah yang membuat perempuan Papua rentan kekerasan dalam lingkup domestik. Setelah berkeluarga, tugas perempuan kian berat. Selain melahirkan dan mengurus anak, mereka juga harus mengelola kebun.
Di pedalaman, dengan mudah kita menjumpai seorang ibu seraya membopong anaknya di pundak juga membawa tas rajut dari kulit kayu (noken) untuk membawa ubi dan sayuran serta memanggul sekop atau kapak.”Nanti kalau suami pulang ternyata tidak ada ubi untuk dimakan, ia marah-marah dan menyebut istrinya bodoh,” kata Suster Serafika AK yang kerap mendampingi keluarga masyarakat Mee di Nabire.
Sebagai bagian dari masyarakat Papua, perempuan di sana juga mengalami kekerasan di ruang publik akibat stigmatisasi politik. Pada tahun 1980-an, banyak perempuan di Waris terpaksa melahirkan di pengungsian menyusul penetapan Papua sebagai daerah operasi militer. Kekerasan negara pada era itu hingga saat ini masih menyisakan trauma. Hal itu menyebabkan mereka tidak mudah membuka diri terhadap orang lain. Beban sosial yang belum diselesaikan tuntas itu membuat mereka sulit berkembang. Hal itu menegaskan apa yang dikatakan Wakil Ketua Majelis Rakyat Papua Hana Hikoyabi, yaitu perempuan Papua mengalami kekerasan berlapis.
Dampak lanjutannya, beban perempuan kian berat karena mereka dituntut mampu menghidupi keluarga dari remah-remah yang diberikan pasar. Para pemangku kepentingan, terutama pemerintah, tidak lagi bisa mengabaikan kenyataan ini. Memperkuat daya saing perempuan Papua dalam ruang ekonomi dapat menjadi alternatif membangun kepercayaan diri mereka.
Di sisi lain cara pandang adat terhadap posisi perempuan pun layak dikembangkan. Jika masyarakat Papua memandang tanah sebagai ibu yang memberi hidup dan karena itu layak dipertahankan dan dihormati, selayak itu pula sebenarnya perempuan ditempatkan. Karena menjadi sangat tidak layak jika kepada yang memberi hidup, perlakuan yang keras dan kasar diberikan. Karena itu pulalah yang menjadi bahan pemikiran agar pendidikan bagi wanita Papua perlu di perjuangkan.
Pembangunan dan Akar Konflik
Dari hasil penelitian Bagong Suyanto (Dosen Departemen Sosiologi FISIP Unair, yang melakukan Studi Perubahan Sosial dan Industrialisasi di Papua 2004 dan 2010/Kompas/ 12/8/2011) kondisi Papua yang seolah memendam konflik tiada akhir di Papua sesungguhnya berakar dari berbagai macam persoalan yang dipicu oleh adanya proses perubahan sosial yang terjadi begitu cepat dan terbukti telah menimbulkan implikasi dan proses adaptasi yang tak selalu mudah bagi suku-suku dan penduduk lokal di Papua untuk menyesuaikan diri dengan akselerasi perubahan sosial-budaya dan tuntutan situasi baru yang berlangsung di sekitar mereka. Kalau melihat kondisi Sosial di Papua Nugini yang masih sangat sederhana (90% tergantung pada kemurahan alam) misalnya, kita menyadari memang apa yang dialami oleh warga kita di Papua sungguh sangat ekstrim. Mereka dipaksa untuk mengikuti perputaran roda pembangunan yang begitu cepat, dan sekaligus harus bersaing dengan para pendatang membuat mereka kian tertekan. Dalam kondisi seperti itulah para wanita Papua makin terhimpit persoalan yang kian menyudutkan posisi mereka. Padahal wanita dalam keluarga papua adalah tulang punggung keluarga. Kalau waninya ungula maka akan lahirlah keluarga yang unggul di Papua.
Menurut Bagong, di Papua, dengan mudah siapa pun bisa melihat bahwa tekanan dan tuntutan pembangunan serta perubahan baru yang terlalu mementingkan kepentingan politik dan ekonomi terbukti menyebabkan terjadinya polarisasi dalam masyarakat, dan warga lokal yang seharusnya menjadi subyek pembangunan justru acap kali terpinggirkan oleh derap modernisasi. Apa yang bisa dipelajari dari kasus Papua adalah perencanaan dan pembangunan proyek yang hanya mencakup aspek-aspek teknis dan finansial—tanpa memperhitungkan biaya sosial yang harus ditanggung penduduk lokal, terutama eksistensi adat istiadat dan hak-hak adat masyarakat setempat—terbukti hanya melahirkan problem sosial-budaya.
Seperti juga terjadi di berbagai komunitas, kegagalan masyarakat lokal menyesuaikan diri (readjustment) terhadap perubahan yang cepat menyebabkan mereka mudah terpicu untuk melakukan gerakan-gerakan radikal atau tetap diam dengan memendam suatu persoalan. Studi yang dilakukan Ngadisah (2003) menyimpulkan, hakikat gerakan sosial di Papua intinya adalah penolakan terhadap kebijakan pembangunan yang mengabaikan keberadaan masyarakat lokal.
Pembangunan yang bersifat sentralistis dan dipaksakan dari atas tidak hanya melahirkan perubahan pada tradisi, tercabiknya nilai-nilai spiritual, dan perubahan pada pola mata pencaharian penduduk, tetapi juga menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial dan perampasan hak-hak adat masyarakat lokal. Dalam rangka menuntut kembali hak-hak mereka itu, akhirnya di kalangan masyarakat Papua tidak hanya terjadi protes sosial, tetapi juga lahir gerakan sosial berkepanjangan.
Dibingkai Politik Kepentingan
Kembali menurut Bagong Suyanto, di bumi Papua, banyak kajian telah membuktikan, dalam proses pembangunan dan industrialisasi yang mengalienasikan, penduduk pedalaman umumnya cenderung menjadi korban persekutuan antara modal dan kekuasaan politik. Studi yang dilakukan FISIP Unair (2004 dan 2010) menemukan adanya indikasi bahwa investasi di sektor ekstraktif yang bertujuan mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam (hutan, tambang, dan laut) demi akumulasi modal tidak saja telah melahirkan proses perubahan sosial-budaya dan kesenjangan sosial, tetapi juga menyebabkan munculnya keresahan, bahkan resistensi sosial penduduk lokal yang teralienasi dari proses pembangunan yang sedang berlangsung di wilayahnya.
Dari pandangan saya, semangat resistensi inilah kemudian yang dimanfaatkan oleh para pihak dalam upaya “ menyalakan bara” di Papua. Dan inilah inti permasalahan yang kemudian jadi pintu masuk bagi para pemerhati Papua seperti Tamrin Amal Tamagola seperti yang dituliskan Bagong “sesungguhnya berakar pada persoalan kewenangan Majelis Rakyat Papua yang berhadapan dengan kekhawatiran pemerintah tentang kemungkinan Papua memerdekakan diri jika MRP diberi wewenang dalam bidang politik. Benarkah demikian?”.
Menurut hemat saya, dalam berbagai pandangan para pemerhati yang melihat gerakan Papua dari sisi politik, mereka memang cenderung terperangkap dan menempatkan resistensi ini sebagai inti dalam gerakan “politik separatis” Papua. Hemat saya, justeru pola pembangunan yang sangat berorientasi modernisasi yang mengagungkan “investasi di sektor ekstraktif yang bertujuan mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam (hutan, tambang, dan laut) demi akumulasi modal” dan melupakan persoalan budaya inilah yang di jadikan amunisi oleh para penggiat politik dan justeru sering jadi pembenaran oleh para peneliti dari LIPI sebagai “pembenaran” untuk melihat kembali ke ranah politik semisal upaya mempersolkan “pepera” kembali. Sebuah setback yang sebenarnya tidak diperlukan. Bahwa Papua itu adalah Indonesia itu sudah final, tanpa Pepera sekalipun, itu bisa diamini dari persoalan “pewarisan” atau “UTI POSSIDETIS JURIS” negeri jajahan dari kaum penjajah ke negeri terjajah. Tidak ada alasan yang bisa diterima kalau negeri bekas jajahan Belanda tempo hari lalu di wariskan jadi beberapa Negara.
Bangun Wanita Papua Secara Budaya
Hemat saya Papua membutuhkan Revitalisasi Budaya dan itu dengan menempatkan wanita Papua sebagai sasaran yang perlu diutamakan. Untuk mengembangkan kembali identitas budaya masyarakat Papua sekaligus mengeliminasi kesenjangan sosial yang timbul, salah satu upaya yang perlu dilakukan ke depan adalah bagaimana mengembangkan proses revitalisasi unsur budaya lokal. Untuk itu pemerintah perlu kembali melihat pola pembangunan Papua dengan lebih jenih. Bahwa pembangunan di Papua jangan disamakan dengan pola pembangunan seperti di daerah Indonesia lainnya. Bahwa pola transmigrasi perlu di stop dan digantikan dengan trans lokal dalam artian warga lokalnya yang diberdayakan, dibantu dengan cara pola trasnmigrasi bagi kepentingan warga lokal. Termasuk didalamnya memberdayakan kegiatan LSM atau tokoh lokal seperti yang dilakukan oleh Pastor Cornelis JJ de Rooij di Papua dll.
Kemudian perlu diberikan pendampingan dan pengawasan kepada jajaran Pemda dalam membangun wilayahnya. Sebab Papua juga harus dilihat dari kacamata “konflik antar klan”, bahwa banyak sekali suku di papua itu nyata, dan ada “konflik tidak terungkapkan” di sana. Karena itu proses pembangunan yang dilakukan oleh Pemda harus di giring untuk lebih demokratis, transparan dan akuntabel dan menghukum mereka yang mengkorupsi anggaran pembangunan Papua.
Pada lini berikutnya perhatikan pembangunan wanita Papua. Berikan mereka pendidikan pada semua lini secara gratis dan menyenangkan. Saya ingat ketika tahun 1980an, saat Kodam Trikora (waktu itu) mendirikan Perguruan Tinggi Ilmu Sospol (Pangdamnya Sembiring Meliala) secara gratis, mulai dari pendaftaran hingga kuliah. Hemat saya hal seperti itu masih diperlukan di semua lini. Mulai dari TK,SD hingga perguruan tinggi. Khususnya untuk TK dan SD saya menyarakan gratis semuanya, mulai dari pakaian, buku, sarapan pagi dan makan siang. Kalau anda pernah ke Papua, khususnya di pedalamannya (juga sebenarnya di hampir semua pedalaman wilayah Indonesia lainnya), maka anda akan melihat betapa nilai sebuah sarapan pagi dan makan siang bagi anak-anak adalah “segalanya”.
Jadi kalau pendidikan diberikan sarana yang memadai, serta guru yang sejahtera, dan dibekali rumah, dan puskesmas, maka saya percaya kegiatan pendidikan di sana akan jauh lebih menyenangkan. Khusus untuk tingkatan SMP dan SLA perlu di buatkan asrama bagi mereka dan khusus untuk wanita lebih mendapatkan perhatian lebih dengan memberikan mereka ketrampilan ekstra kurikuler yang nantinya memang bisa mereka manfaatkan. Misalnya bagaimana melakukan usaha jual pinang yang baik, dll sesuai budaya.
Meskipun Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus mengamanatkan untuk memberi peluang dan perhatian lebih kepada pelaku ekonomi tradisional, nyatanya hal itu tidak bisa jalan. Pertama karena memang kualitas SDMnya yang baru sebatas yang ada, dan juga mereka belum mendapatkan program pendampingan tata cara berusaha yang benar. Jelas mereka belum mampu mengambil peluang apalagi bersaing dalam ekonomi yang ada. Mereka tidak punya gambaran bagaimana cara mendapatkan modal usaha, karena kebutuhan mereka memang belum sesuai dengan skala ekonomi yang ada. Pertama yang mereka butuhkan adalah pola Gramien Banknya Moh Yunus dari Bangladesh. Mereka perlunya hanya sedikit, hanya untuk berjualan pinang. Jelas hal seperti itu tidak ada skemanya di BRI,BNI dan bank-bank lainnya. Yang mereka butuhkan hanya sedikit dan jangan sampai ada proses administrasi apapalagi harus ada jaminan segala. Hal hal seperti inilah yang justeru makin menumbuhkan rasa tidak percaya diri mereka sendiri.
sumber:http://www.wilayahpertahanan.com/dialektika-pertahanan/membangun-papua-lewat-pemberdayaan-wanita-papua

Kamis, 03 November 2011

KEBAYA, SEBUAH KARYA CERMINAN WANITA INDONESIA

Siapa yang tidak mengenal kebaya? Salah satu karya Indonesia ini memang selalu menjadi primadona khususnya bagi kaum wanita. Tidak hanya terkenal di bumi pertiwi, desainnya yang cantik dan elegan membuat Kebaya begitu tersohor di mancanegara.
Pada dasarnya Kebaya adalah blus tradisional yang dikenakan untuk wanita pada abad 15 atau 16 masehi. Biasanya terbuat dari bahan tipis yang dipadankan dengan kain batik atau pakaian rajutan tradisional lainnya seperti songket dengan beragam motif. Konon, Kebaya berasal dari bahasa Arab yakni “Abaya” yang berarti pakaian dan diperkenalkan lewat bangsa Portugis ketika mereka mendarat di Asia Tenggara.
Sebelum masuknya kebaya di Indonesia, para wanita di Indonesia belum mengenal kain tenun panjang. Mereka masih menggunakan pakaian bermodel kemben sebagai pakaian sehari-hari. Saat masuknya budaya Islam di Indonesia, Kebaya pun datang dan menggeser pakaian bermodel kemben. Pada saat itu, kebaya masih tidak berlekuk mengikuti bentuk tubuh, melainkan panjang lengkap dengan lengan yang panjang pula.
Seiring dengan perkembangan zaman, kebaya dipakai oleh seluruh wanita di Indonesia. Desainnya pun beragam dengan modifikasi disana-sini. Kebaya kerap kali dipakai oleh kalangan wanita keraton dengan menggunakan bahan dan warna yang elegan. Sementara untuk masyarakat biasa menggunakan kain katun yang kasar dan tradisional. Bangsawan Belanda saat itu pun turut memakai busana ini dengan melakukan modifikasi seperti membuat kebaya dengan lengan yang lebih pendek. Dari sanalah unsur eropa ikut mempengaruhi desain pada Kebaya.
Pada awal tahun 1920-an, nasionalisme di Indonesia membuncah. Banyak organisasi tradisional maupun bentukan pemerintah pada masa itu menyuarakan isu nasionalisme. Kondisi politik tersebut juga turut mempengaruhi perkembangan Kebaya pada saat itu. Sejak itu, Kebaya dianggap bercitra pribumi dengan segala perjuangannya. Sejak saat itu pula, banyak bangsawan Belanda yang meninggalkan busana ini karena dianggap bercitra pribumi. Kebaya pun semakin terasa nasionalisme nya saat menjelang kemerdekaan, dengan bernafas nasionalisme dan jiwa kemerdekaan bagi perempuan yang memakainya.
Sejak saat itu juga Kebaya sering dikaitkan dengan banyak momen kemasyarakat yang mencirikan nilai tradisionalisme dan nasionalisme seperti sebagai pakaian pernikahan, pakaian pertemuan formal kenegaraan hingga acara-acara penting lainnya yang mengusung citra Indonesia secara Internasional. Berbagai modifikasi dan sentuhan lebih tradisional juga banyak dilakukan oleh beragam perancang di dunia mode Indonesia. Hingga saat ini banyak bermunculan beragam kebaya dengan model dan ciri yang beragam.
Meskipun Kebaya merupakan asimilasi dan modifikasi dari beragam entitas suku dan etnik yang pernah datang di Indonesia, namun merupakan sebuah kebanggan bagi para wanita bila mengenakan Kebaya. Tidak hanya sebagai entitas fesyen, Kebaya sudah terlanjur membumi dan membawa nilai-nilai tradisionalis dan nasional dari tanah Indonesia. Tak heran, setiap wanita yang mengenakan kebaya, merupakan cerminan wanita Indonesia.
sumber:http://palingindonesia.com/kebaya-sebuah-karya-cerminan-wanita-indonesia/

Emansipasi Wanita Dibalik Kepeloporan Kartini

Memaknai refleksi kelahiran RA Kartini yang diperingati setiap tanggal 21 April sebagai tokoh nasional yang dikenal sangat getol memperjuangkan gerakan emansipasi wanita di Indonesia, sepintas lalu merupakan dogma yang nyaris tanpa kritik sejak memoar beliau tertuang dengan tinta emas dalam lembaran sejarah kemerdekaan Indonesia. Bukan hanya wanita, pria bahkan waria pun sampai detik ini meyakini derap kemajuan emansipasi wanita Indonesia dicapai berkat gerakan emansipasi yang dipelopori RA Kartini.
Untuk mengabadikan makna kepeloporan Kartini yang hampir menjadi figur sentral wanita Indonesia, maka tidak heran jika penampilan wanita kita di setiap tanggal 21 April, sarat dengan fenomena Kartini di kantor-kantor pemerintah, swasta. Bahkan sejumlah unit kerja seperti TV,Radio dll sengaja mensetting program siaran-siarannya sepanjang hari itu dengan nuansa ke-Kartinian.
Tidak heran jika mulai dari kalangan ibu, remaja putri hingga anak perempuan sibuk mendandani diri dengan pakaian kebaya khas Kartini untuk ditampilkan dalam berbagai atraksi. Tak pelak lagi salon kecantikan yang selama ini sepi pengunjung, tiba-tiba kebanjiran orderan,walau hanya sekedar pemasangan sanggul. Semua itu merupakan ekspresi kecintaan dan kekaguman masyarakat Indonesia terhadap sosok Kartini yang dicitrakan dalam suasana keprihatinan sebagaimana yang dilukiskan Ismail Marzuki melalui salah satu karya legendarisnya yang berjudul “Sabda Alam”.
Kita memang tidak dapat menerima dengan argumentasi apapun segala bentuk ketidakadilan dan diskriminasi. Apalagi praktik pelecehan, peremehan dan penganiayaan hak kelompok masyarakat rentan seperti kaum perempuan. Bahkan kita harus menghilangkan, jika perlu melakukan upaya pro justicia kepada siapa pun yang mencoba melanggar hak serta merendahkan harkat dan martabat kaum perempuan sebagaimana konon dialami Kartini dimasa perjuangannya. Terlebih disaat kita di kekinian telah memiliki konstitusi baru dan sejumlah paket peraturan perundang-undangan yang telah menjamin pemenuhan HAM dalam segala aspek kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Sebaliknya kita pun tentu setuju jika eksistensi HAM ditempatkan dalam khasanah Indonesia di kekinian sebagaimana pula perlunya image Kartini sebagai tokoh pejuang emansipasi wanita Indonesia untuk diposisikan secara proporsional, objektif dan multi dimensional. Ini penting karena opini public yang terbangun dalam memahami aspek perjuangan kemajuan kaum wanita di Indonesia, tampaknya cenderung didominasi kalau bukan identik dengan sosok perjuangan Kartini.
Betapa tidak karena hampir semua referensi tentang gerakan emansipasi wanita di nusantara, tidak pernah luput pengkajiannya dengan sosok Kartini. Tragisnya karena paradigma gerakan emansipasi wanita di Indonesia terbangun dalam proses dialektika dan rivalitas yang menempatkan pria dan wanita sebagai kekuatan yang saling berhadap-hadapan. Tak ayal lagi gendereng perlawanan kaum wanita atas dominasi pria pun ditabuh dengan konstalasi issue patriarkhi dan konstruksi sosial yang bias gender.
Dengan tidak mengurangi penghargaan dan penghormatan penulis terhadap sosok Kartini maupun setiap perjuangan menentang ketidakadilan dan diskriminasi, namun penulis menyesalkan sekaligus menggugat tiga hal dibalik kepeloporan Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita di Indonesia. Tiga hal dimaksud meliputi :
  1. Seberapa jauh kebenaran deskripsi tentang R.A Kartini sebagai pencetus gerakan emansipasi wanita di Indxt-align: justify;">Apakah profile Kartini dalam sejarah perjuangan Indonesia, benar-benar merupakan deskripsi keberadaaonesia, menurut kronologis fakta sejarah.?
  2. Seberapa tinggi tingkat urgensi kepeloporan Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita di Indonesia?
  3. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa Kartini lahir di Jepara tanggal 21 April 1879 dan wafat pada tanggal 17 September 1904. Dalam berbagai manuskrip tentang Kartini antara lain dikisahkan tentang idenya untuk membebaskan kaumnya dari belenggu tradisi dan konstruksi sosial yang sangat melecehkan serta merendahkan martabat perempuan pada masanya. Sejak itulah konon merebak pemahaman yang memicu gerakan emansipasi wanita di Nusantara, yang kemudian menjelma menjadi Negara Republik Indonesia seperti sekarang ini.
    Jika emansipasi dikonstruksikan sebagai konsep penyetaraan hak dan kedudukan antara pria dan wanita untuk berperan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan, maka sesungguhnya hal seperti itu sudah terjadi dan melembaga jauh sebelum era Kartini. Kita tentu masih ingat kalau Majapahit sebagai kerajaan yang pernah menguasai hampir seluruh kawasan Asia Tenggara hingga ke Formosa dibagian utara dan Madagaskar di barat, ternyata dalam silsilah kerajaan Majapahit pernah diperintah 2 dua perempuan masing-masing “Tribhuwanatunggadewi (1328-1350) M”. dan Kusuma Wardhani (1389-1429) M.
    Catatan sejarah yang lebih tua dari Majapahit dikenal pula sosok perempuan sebagai panutan yang sangat dihormati yaitu Fatimah Binti Maimun. Nama tokoh ini ditemukan dalam prasasti makam yang terletak di Leran (dekat Gresik) dalam prasasti tersebut selain nama, juga keterangan wafat yaitu tahun 1028 M
    Bukan hanya itu dalam catatan sejarah yang lebih tua lagi dari semua yang dikemukakan di atas, dikenal juga wanita kesohor dari kerajaan Kalingga (Holing/Keling), masa keemasan kerajaan ini justru berpuncak ketika “Ratu Sima” berkuasa yang diperkirakan berlangsung pada abad VII M. Dalam masa itu menurut sejarah, rakyat sungguh-sungguh sangat merasakan nuansa kemakmuran dan keadilan.
    Hal tersebut ditandai dengan pembangunan gapura penerang disetiap persimpangan jalan yang bertatahkan emas tanpa ada yang berniat apalagi nekat melakukan pencurian sebagaimana dikekinian yang meski tersembunyi, dijaga ketat dan disertai ancaman hukuman berat, toh juga dapat diterobos dengan modus korupsi dan sejenisnya.
    Begitu tegas dan kerasnya Sang Ratu menegakkan hukum, menimbulkan rasa penasaran Raja Ta- Che dengan mengirim mata-mata untuk membuktikan kebenaran berita tentang ketegasan Ratu Sima. Mata-mata tersebut meletakkan kantong emas di pinggir jalan dekat dengan pasar. Ternyata kurang lebih tiga tahun tidak ada yang berani menyentuh atau mengambilnya.
    Pada suatu hari, Ratu Sima bersama putra mahkota diiringi para pejabat kerajaan mengadakan perjalanan untuk melihat dari dekat keadaan dan kehidupan masyarakatnya . Namun tanpa sengaja putra mahkota tersandung kantong emas sampai terjatuh . Melihat kenyataan ini, Ratu Sima sangat marah dan memerintahkan untuk menjatuhkan hukuman mati kepada putra mahkota. Tetapi berkat nasihat para pejabat istana yang menyatakan putra mahkota tidak bersalah, maka hukuman mati diurungkan. Meski tetap dijatuhi hukuman dengan memotong jari kaki yang menyentuh emas tersebut.. Melihat kenyataan itu, Raja Ta-Che mengurungkan niat untuk menyerang Kalingga
    Dari deskripsi yang dikemukakan di atas membuktikan bahwa ketokohan wanita untuk tampil mengambil peran sentral dalam masyarakat, ternyata selalu hadir disetiap zaman. Hampir setiap wilayah di nusantara sebenarnya memiliki tokoh perempuan atau setidaknya nilai tradisi yang mendudukkan perempuan dalam posisi sentral. Ambil contoh pada masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat yang menganut sistem kekerabatan matrilineal.
    Perempuan dalam sistem kekerabatan ini, mempunyai kedudukan determinan dari pada laki-laki. Mulai dari soal pewarisan hingga berbagai macam permasalahan dalam pernikahan dan perceraian, semuanya hanya terfokus pada perempuan sebagai pemegang hak. Kaum lelaki dalam sistem kekerabatan ini hanya berkedudukan sebagai sub ordinat atas dominasi perempuan. Fenomena tersebut tentu sangat jauh dari alam kehidupan Kartini dengan emansipasinya.
    Tokoh perempuan lain di nusantara yang sempat mengukir prestasi spektakuler sebagai the change of social agent antara lain Martha Christina Tiahahu yang gigih berjuang bersama Pattimura di Maluku, Cut Nyak Dien dan Cut Muthia dua srikandi dari Nanggroe Aceh Darussalam yang tak kenal menyerah untuk mengusir pendudukan pasukan Kape (Belanda) di bumi persada, tak ketinggalan nama Herlina Efendi yang dianugerahi pending Cendrawasih Emas dari pemerintah RI atas jasanya untuk membebaskan Irian Barat dari pendudukan kolonial Belanda.
    Kepeloporan emansipasi wanita di Sulawesi Selatan sendiri, sudah lama terjadi jauh sebelum Kartini menyanyikan lagu klasik itu. Kita tentu pernah mendengar nama Putri Ta’dampali dari istana kerajaan Luwu yang dibuang ke daerah Wajo karena mengidap penyakit lepra. Ditempat pembuangannya bukan saja dapat sembuh konon dengan jilatan seekor kerbau, Putri Ta’dampali juga ternyata sukses menyulap daerah Wajo menjadi kerajaan besar laksana baldatun tayyibatun warabbun ghafuur.
    Kitab lontara karangan legendaris Lagaligo yang sangat mashur dalam dunia kesusastraan kuno ternyata tidak punya nilai seagung itu, seandainya tanpa sentuhan tangan Colli Pujie, lagi-lagi seorang perempuan yang penulis kira sulit dicari tandingannya di masa kini. Dialah yang tekun mengumpulkan serpihan lontara Lagaligo lalu ditulisnya kembali hingga menjadi kitab utuh yang sangat monumental di seantero dunia.
    Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia di Sulsel tentu tidak dapat dipisahkan dengan nama Emmy Saelan. Meski ia adalah seorang perempuan, namun semangat dan kegigihannya dalam membela tanah air, jauh melebihi kemampuan dan kegigihan kaum lelaki pada masanya. Bersama-sama R.W. Monginsidi , Emmy Saelan dapat melumpuhkan kekuatan kolonial Belanda yang mempunyai persenjataan lebih baik dengan taktik berpura-pura menyerah. Setelah itu 8 atau 9 serdadu Belanda mencoba menghampiri untuk menangkapnya dan seketika itu pula, Emmy Saelan meledakkan granat tangan yang menewaskan para penangkap dan dirinya sendiri.
    Dengan fakta sejarah sebagaimana yang dikemukakan di atas, terkuaklah bukti bahwa jauh sebelum era Kartini, kaum wanita sesungguhnya telah mendulang kesetaraan dengan kaum pria bahkan nyata-nyata telah menunjukkan kepiawaiannya dalam mengambil peran sosialnya jauh melebihi peran Kartini. Tapi mengapa nama mereka ini dengan prestasi spektakulernya tak pernah disebut-sebut dalam setiap episode gerakan emansipasi wanita di Indonesia? Dan mengapa pula mereka dapat menjadi faktor determinan dalam tatanan kehidupan pada masanya?. Padahal kalau kita runut dari logika pencerahan, maka kurang apa ortodoks dan konservatifnya tatanan kehidupan yang melembaga dalam akar tradisi yang berlaku ketika itu.
    Kepopuleran Kartini sebagai penggerak emansipasi wanita Indonesia mungkin terjadi akibat propaganda kolonial Belanda. Kesimpulan ini dapat ditarik dari korespondensi Kartini dengan sejumlah tokoh perempuan di negeri penjajah itu yang kemudian diekspos melalui media dan buku-buku. Semua ini mungkin sengaja dilakukan Belanda untuk menebar pertentangan dan perpecahan (Devide at Impera) sebagai taktik untuk menghancurkan dan melemahkan semangat pemberontakan nasional. Ditengarai juga sebagai ajang akulturasi budaya dan nilai Belanda untuk menjamah struktur nilai dan budaya Indonesia agar dapat tunduk dan simpati kepada kolonial Belanda.
    Sampai disini popularitas Kartini sebagai pencetus gerakan emansipasi wanita di nusantara ternyata sarat dengan kepentingan politik dan menapikkan silsilah perjuangan perempuan yang jauh lebih prestius sebelum masanya. Bahkan sangat boleh jadi popularitas Kartini lebih menonjol akibat promosi Belanda sebagaimana anekdot yang mengisahkan kepopuleran telur ayam dari pada telur bebek, puyuh dll adalah karena karateristik ayam yang selalu berkotek setiap akan dan sudah bertelur, hal mana tidak terjadi pada hewan petelur lain.
    Karena itu penulis sangat sesalkan flatform perjuangan perempuan Indonesia dengan starting point pada sosok Kartini yang lemah dan teraniaya. Akan lebih baik jika gerakan emansipasi wanita Indonesia memunculkan figur yang menjadi symbol perempuan Indonesia yang kuat. Piawai, elegan, dan berbagai elemen superioritas. Mungkin dengan pola seperti ini setidaknya dapat mengubah image buruk publik terhadap perempuan baik sebagai kelompok rentan maupun polarisasi yang bertendensi rivalitasnya dengan kaum pria. (Mukhaelani)****