My Rainbow Dreams

Just Blogger Templates

Senin, 07 November 2011

Membangun Papua Lewat Pemberdayaan Wanita Papua

Di Papua masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah persoalan yang sangat mendasar dan jumlahnya cukup memperihatinkan. Bahwa seorang Ibu yang  terpaksa menyerahkan anak-anaknya kepada saudaranya atau kerabatnya untuk pengasuhan karena kemiskinan dan perceraian adalah hal yang jamak. ” Para Ibu yang tidak tahan atas perlakuan suami. Mereka kerap dipukul.” Bagi Papua upaya untuk terus menyosialisasikan penghentian kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah sesuatu yang sangat penting. Apalagi dalam berbagai kasus KDRT, anak-anak pun menjadi korban.
Data Lembaga Pengkajian Pemberdayaan Perempuan dan Anak Papua (LP3AP) memperlihatkan, antara tahun 2005 dan 2008 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di lingkup domestik dan tempat kerja di Kota Jayapura yang dilaporkan terus meningkat. Pada tahun 2005, LP3AP mencatat 65 kasus kekerasan, tahun 2006 menjadi 77 kasus, tahun berikutnya 87 kasus, dan tahun 2008 terjadi 96 kasus. Di satu sisi, data itu menunjukkan kesadaran masyarakat melaporkan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. Di sisi lain ternyata kekerasan terus terjadi dan jumlahnya banyak.Rafael Hafen dari Lentera, lembaga swadaya masyarakat yang juga bekerja dalam isu tersebut, mengatakan, hal itu antara lain karena lemahnya posisi perempuan di Papua dalam lingkup adat dan umum.( B Josie Susilo Hardianto kompas 23,1,2010)

Pria Papua Kurang Menghargai Wanita
Dari tulisan yang sama menjelaskan bahwa karena impitan ekonomi dan sosial, kerap menjadi alasan bagi laki-laki atau suami menganiaya fisik dan psikis istri dan anak-anak mereka.”Yang memprihatinkan, ada kalanya para istri merasa kekerasan itu bisa diterima.”
Adat yang mengharuskan pria membayar dan melunasi mas kawin tanpa disadari meletakkan perempuan Papua sebagai komoditas dan membuat pria Papua kurang respek pada wanita. Apalagi menentukan besarnya mas kawin bukan si perempuan, tetapi paman. Sejak awal, posisi setara antara perempuan dan laki-laki dalam perkawinan tidak terjadi. Itulah yang membuat perempuan Papua rentan kekerasan dalam lingkup domestik. Setelah berkeluarga, tugas perempuan kian berat. Selain melahirkan dan mengurus anak, mereka juga harus mengelola kebun.
Di pedalaman, dengan mudah kita menjumpai seorang ibu seraya membopong anaknya di pundak juga membawa tas rajut dari kulit kayu (noken) untuk membawa ubi dan sayuran serta memanggul sekop atau kapak.”Nanti kalau suami pulang ternyata tidak ada ubi untuk dimakan, ia marah-marah dan menyebut istrinya bodoh,” kata Suster Serafika AK yang kerap mendampingi keluarga masyarakat Mee di Nabire.
Sebagai bagian dari masyarakat Papua, perempuan di sana juga mengalami kekerasan di ruang publik akibat stigmatisasi politik. Pada tahun 1980-an, banyak perempuan di Waris terpaksa melahirkan di pengungsian menyusul penetapan Papua sebagai daerah operasi militer. Kekerasan negara pada era itu hingga saat ini masih menyisakan trauma. Hal itu menyebabkan mereka tidak mudah membuka diri terhadap orang lain. Beban sosial yang belum diselesaikan tuntas itu membuat mereka sulit berkembang. Hal itu menegaskan apa yang dikatakan Wakil Ketua Majelis Rakyat Papua Hana Hikoyabi, yaitu perempuan Papua mengalami kekerasan berlapis.
Dampak lanjutannya, beban perempuan kian berat karena mereka dituntut mampu menghidupi keluarga dari remah-remah yang diberikan pasar. Para pemangku kepentingan, terutama pemerintah, tidak lagi bisa mengabaikan kenyataan ini. Memperkuat daya saing perempuan Papua dalam ruang ekonomi dapat menjadi alternatif membangun kepercayaan diri mereka.
Di sisi lain cara pandang adat terhadap posisi perempuan pun layak dikembangkan. Jika masyarakat Papua memandang tanah sebagai ibu yang memberi hidup dan karena itu layak dipertahankan dan dihormati, selayak itu pula sebenarnya perempuan ditempatkan. Karena menjadi sangat tidak layak jika kepada yang memberi hidup, perlakuan yang keras dan kasar diberikan. Karena itu pulalah yang menjadi bahan pemikiran agar pendidikan bagi wanita Papua perlu di perjuangkan.
Pembangunan dan Akar Konflik
Dari hasil penelitian Bagong Suyanto (Dosen Departemen Sosiologi FISIP Unair, yang melakukan Studi Perubahan Sosial dan Industrialisasi di Papua 2004 dan 2010/Kompas/ 12/8/2011) kondisi Papua yang seolah memendam konflik tiada akhir di Papua sesungguhnya berakar dari berbagai macam persoalan yang dipicu oleh adanya proses perubahan sosial yang terjadi begitu cepat dan terbukti telah menimbulkan implikasi dan proses adaptasi yang tak selalu mudah bagi suku-suku dan penduduk lokal di Papua untuk menyesuaikan diri dengan akselerasi perubahan sosial-budaya dan tuntutan situasi baru yang berlangsung di sekitar mereka. Kalau melihat kondisi Sosial di Papua Nugini yang masih sangat sederhana (90% tergantung pada kemurahan alam) misalnya, kita menyadari memang apa yang dialami oleh warga kita di Papua sungguh sangat ekstrim. Mereka dipaksa untuk mengikuti perputaran roda pembangunan yang begitu cepat, dan sekaligus harus bersaing dengan para pendatang membuat mereka kian tertekan. Dalam kondisi seperti itulah para wanita Papua makin terhimpit persoalan yang kian menyudutkan posisi mereka. Padahal wanita dalam keluarga papua adalah tulang punggung keluarga. Kalau waninya ungula maka akan lahirlah keluarga yang unggul di Papua.
Menurut Bagong, di Papua, dengan mudah siapa pun bisa melihat bahwa tekanan dan tuntutan pembangunan serta perubahan baru yang terlalu mementingkan kepentingan politik dan ekonomi terbukti menyebabkan terjadinya polarisasi dalam masyarakat, dan warga lokal yang seharusnya menjadi subyek pembangunan justru acap kali terpinggirkan oleh derap modernisasi. Apa yang bisa dipelajari dari kasus Papua adalah perencanaan dan pembangunan proyek yang hanya mencakup aspek-aspek teknis dan finansial—tanpa memperhitungkan biaya sosial yang harus ditanggung penduduk lokal, terutama eksistensi adat istiadat dan hak-hak adat masyarakat setempat—terbukti hanya melahirkan problem sosial-budaya.
Seperti juga terjadi di berbagai komunitas, kegagalan masyarakat lokal menyesuaikan diri (readjustment) terhadap perubahan yang cepat menyebabkan mereka mudah terpicu untuk melakukan gerakan-gerakan radikal atau tetap diam dengan memendam suatu persoalan. Studi yang dilakukan Ngadisah (2003) menyimpulkan, hakikat gerakan sosial di Papua intinya adalah penolakan terhadap kebijakan pembangunan yang mengabaikan keberadaan masyarakat lokal.
Pembangunan yang bersifat sentralistis dan dipaksakan dari atas tidak hanya melahirkan perubahan pada tradisi, tercabiknya nilai-nilai spiritual, dan perubahan pada pola mata pencaharian penduduk, tetapi juga menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial dan perampasan hak-hak adat masyarakat lokal. Dalam rangka menuntut kembali hak-hak mereka itu, akhirnya di kalangan masyarakat Papua tidak hanya terjadi protes sosial, tetapi juga lahir gerakan sosial berkepanjangan.
Dibingkai Politik Kepentingan
Kembali menurut Bagong Suyanto, di bumi Papua, banyak kajian telah membuktikan, dalam proses pembangunan dan industrialisasi yang mengalienasikan, penduduk pedalaman umumnya cenderung menjadi korban persekutuan antara modal dan kekuasaan politik. Studi yang dilakukan FISIP Unair (2004 dan 2010) menemukan adanya indikasi bahwa investasi di sektor ekstraktif yang bertujuan mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam (hutan, tambang, dan laut) demi akumulasi modal tidak saja telah melahirkan proses perubahan sosial-budaya dan kesenjangan sosial, tetapi juga menyebabkan munculnya keresahan, bahkan resistensi sosial penduduk lokal yang teralienasi dari proses pembangunan yang sedang berlangsung di wilayahnya.
Dari pandangan saya, semangat resistensi inilah kemudian yang dimanfaatkan oleh para pihak dalam upaya “ menyalakan bara” di Papua. Dan inilah inti permasalahan yang kemudian jadi pintu masuk bagi para pemerhati Papua seperti Tamrin Amal Tamagola seperti yang dituliskan Bagong “sesungguhnya berakar pada persoalan kewenangan Majelis Rakyat Papua yang berhadapan dengan kekhawatiran pemerintah tentang kemungkinan Papua memerdekakan diri jika MRP diberi wewenang dalam bidang politik. Benarkah demikian?”.
Menurut hemat saya, dalam berbagai pandangan para pemerhati yang melihat gerakan Papua dari sisi politik, mereka memang cenderung terperangkap dan menempatkan resistensi ini sebagai inti dalam gerakan “politik separatis” Papua. Hemat saya, justeru pola pembangunan yang sangat berorientasi modernisasi yang mengagungkan “investasi di sektor ekstraktif yang bertujuan mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam (hutan, tambang, dan laut) demi akumulasi modal” dan melupakan persoalan budaya inilah yang di jadikan amunisi oleh para penggiat politik dan justeru sering jadi pembenaran oleh para peneliti dari LIPI sebagai “pembenaran” untuk melihat kembali ke ranah politik semisal upaya mempersolkan “pepera” kembali. Sebuah setback yang sebenarnya tidak diperlukan. Bahwa Papua itu adalah Indonesia itu sudah final, tanpa Pepera sekalipun, itu bisa diamini dari persoalan “pewarisan” atau “UTI POSSIDETIS JURIS” negeri jajahan dari kaum penjajah ke negeri terjajah. Tidak ada alasan yang bisa diterima kalau negeri bekas jajahan Belanda tempo hari lalu di wariskan jadi beberapa Negara.
Bangun Wanita Papua Secara Budaya
Hemat saya Papua membutuhkan Revitalisasi Budaya dan itu dengan menempatkan wanita Papua sebagai sasaran yang perlu diutamakan. Untuk mengembangkan kembali identitas budaya masyarakat Papua sekaligus mengeliminasi kesenjangan sosial yang timbul, salah satu upaya yang perlu dilakukan ke depan adalah bagaimana mengembangkan proses revitalisasi unsur budaya lokal. Untuk itu pemerintah perlu kembali melihat pola pembangunan Papua dengan lebih jenih. Bahwa pembangunan di Papua jangan disamakan dengan pola pembangunan seperti di daerah Indonesia lainnya. Bahwa pola transmigrasi perlu di stop dan digantikan dengan trans lokal dalam artian warga lokalnya yang diberdayakan, dibantu dengan cara pola trasnmigrasi bagi kepentingan warga lokal. Termasuk didalamnya memberdayakan kegiatan LSM atau tokoh lokal seperti yang dilakukan oleh Pastor Cornelis JJ de Rooij di Papua dll.
Kemudian perlu diberikan pendampingan dan pengawasan kepada jajaran Pemda dalam membangun wilayahnya. Sebab Papua juga harus dilihat dari kacamata “konflik antar klan”, bahwa banyak sekali suku di papua itu nyata, dan ada “konflik tidak terungkapkan” di sana. Karena itu proses pembangunan yang dilakukan oleh Pemda harus di giring untuk lebih demokratis, transparan dan akuntabel dan menghukum mereka yang mengkorupsi anggaran pembangunan Papua.
Pada lini berikutnya perhatikan pembangunan wanita Papua. Berikan mereka pendidikan pada semua lini secara gratis dan menyenangkan. Saya ingat ketika tahun 1980an, saat Kodam Trikora (waktu itu) mendirikan Perguruan Tinggi Ilmu Sospol (Pangdamnya Sembiring Meliala) secara gratis, mulai dari pendaftaran hingga kuliah. Hemat saya hal seperti itu masih diperlukan di semua lini. Mulai dari TK,SD hingga perguruan tinggi. Khususnya untuk TK dan SD saya menyarakan gratis semuanya, mulai dari pakaian, buku, sarapan pagi dan makan siang. Kalau anda pernah ke Papua, khususnya di pedalamannya (juga sebenarnya di hampir semua pedalaman wilayah Indonesia lainnya), maka anda akan melihat betapa nilai sebuah sarapan pagi dan makan siang bagi anak-anak adalah “segalanya”.
Jadi kalau pendidikan diberikan sarana yang memadai, serta guru yang sejahtera, dan dibekali rumah, dan puskesmas, maka saya percaya kegiatan pendidikan di sana akan jauh lebih menyenangkan. Khusus untuk tingkatan SMP dan SLA perlu di buatkan asrama bagi mereka dan khusus untuk wanita lebih mendapatkan perhatian lebih dengan memberikan mereka ketrampilan ekstra kurikuler yang nantinya memang bisa mereka manfaatkan. Misalnya bagaimana melakukan usaha jual pinang yang baik, dll sesuai budaya.
Meskipun Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus mengamanatkan untuk memberi peluang dan perhatian lebih kepada pelaku ekonomi tradisional, nyatanya hal itu tidak bisa jalan. Pertama karena memang kualitas SDMnya yang baru sebatas yang ada, dan juga mereka belum mendapatkan program pendampingan tata cara berusaha yang benar. Jelas mereka belum mampu mengambil peluang apalagi bersaing dalam ekonomi yang ada. Mereka tidak punya gambaran bagaimana cara mendapatkan modal usaha, karena kebutuhan mereka memang belum sesuai dengan skala ekonomi yang ada. Pertama yang mereka butuhkan adalah pola Gramien Banknya Moh Yunus dari Bangladesh. Mereka perlunya hanya sedikit, hanya untuk berjualan pinang. Jelas hal seperti itu tidak ada skemanya di BRI,BNI dan bank-bank lainnya. Yang mereka butuhkan hanya sedikit dan jangan sampai ada proses administrasi apapalagi harus ada jaminan segala. Hal hal seperti inilah yang justeru makin menumbuhkan rasa tidak percaya diri mereka sendiri.
sumber:http://www.wilayahpertahanan.com/dialektika-pertahanan/membangun-papua-lewat-pemberdayaan-wanita-papua

0 komentar:

Posting Komentar