My Rainbow Dreams

Just Blogger Templates

Rabu, 09 November 2011

Dewi Sartika: Pahlawan Dengan Tanda Jasa, Pahlawan Tanpa

Kantun Jujuluk Nu Arum

13205775322100929895
Dewi Sartika
Pada suatu masa walaupun belum ada istilah muatan lokal. murid-murid sekolah dasar di Jawa Barat diperkenalkan pada pahlawan-pahlawannya, baik pahlawan nasional dari daerah lain seperti RA Kartini, Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Dien dan tentu saja Raden Dewi Sartika yang asal Jawa Barat. Mereka telah meninggalkan nama yang harum, kantun jujuluk nu arum, kata orang Sunda.
Saya sengaja menulis pahlawan wanita Indonesia untuk mengingatkan bahwa kaum wanita  berperan dalam gerakan-gerakan mengangkat derajat bangsa Indonesia, baik melalui perjuangan bersenjata seperti dilakukan Martha Christina Tiahahu dan Cut Nyak Dien, melalui karya tulis ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ seperti dilakukan RA Kartini,  maupun melalui dunia pendidikan seperti dilakukan oleh Raden Dewi Sartika.  Padahal pada zaman mereka pendidikan dan posisi kaum wanita masih demikian tertinggal, sehingga apa yang dilakukan keempat perempuan yang saat itu berusia muda tentu saja luar biasa untuk ukuran zamannya, bahkan diukur dengan ukuran prestasi zaman sekarang sekalipun.
Salah satu cara mengingatkan pahlawan bangsa yang paling dekat ke rumah anak-anak sekolah dasar di Jawa Barat pada tahun 1960-an , mudah-mudahan sampai sekarang , adalah dengan mengajarkan kawih atau nyanyian mengenang Raden Dewi Sartika.   Saya bersyukur pada Tuhan sampai hari ini masih hafal syair dan langgam kawih Dewi Sartika, yang diajarkan bapak dan ibu guru SD Pengadilan I Bogor untuk menyanyikannya dalam suatu paduan suara atau rampak sekar.
Dewi Sartika  lahir di Bandung pada 4 Desember 1884 dan wafat di Cineam, Tasikmalaya pada 11 September 1947.  Dewi Sartika wafat saat sedang mengungsi di Desa Rahayu, Kecamatan Cineam, Tasikmalaya. Ketika itu Wilayah Republik Indonesia diserang oleh tentara NICA - Belanda pada peristiwa agresi militer I Belanda tahun 1947.
Kedua orangtua Dewi Sartika, Raden Rangga Somanagara dan Raden Ayu Raja Permas, dibuang Pemerintah Hindia Belanda ke Ternate karena tuduhan memberontak pada Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1893.  Sebelum dibuang ke Ternate,  Raden Rangga Somanagara adalah seorang Patih di Bandung.  Patih itu jabatan di pemerintahan lokal satu level di bawah Bupati, kira-kira setara jabatan Sekretaris Daerah atau Wakil Bupati zaman sekarang. Dengan dibuangnya sang ayah sebagai pemberontak, Dewi Sartika tidak melanjutkan lagi sekolahnya setelah kelas tiga di Lagere School.
Kiprah di dunia pendidikan beliau mulai sejak 1902 dengan mengajarkan membaca, menulis, memasak dan menjahit bagi kaum perempuan di sekitarnya.  Pada 16 Juli 1904 Raden Dewi Sartika mendirikan Sakola Istri atau Sekolah Perempuan, Tahun 1914 Sakola Istri diubah namanya menjadi Sakola Kautamaan Istri atau Sekolah Keutamaan Perempuan.  Pada tahun 1929 Sakola Kautamaan Isteri diubah namanya menjadi Sakola Raden Dewi.  Selain tersebar di kota kabupaten Pasundan, Sakola Kautamaan Istri sempat pula menyebar ke luar pulau Jawa.
Pemerintah Hindia Belanda pada 16 Januari 1939 memberi bintang jasa kepada Dewi Sartika atas jasanya memajukan pendidikan kaum perempuan.  Penghargaan pemerintah kolonial menunjukan bahwa perjuangan Dewi Sartika dilakukan secara koperatif, bukan perjuangan yang diramaikan dengan dar der dor suara senapan.   Selanjutnya Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1966 mengakui Raden Dewi Sartika sebagai pahlawan nasional.
Untuk perempuan yang hidup pada abad ke 19 sungguh luar biasa aktivitas Raden Dewi Sartika ini, yaitu mengajar dan mendirikan sekolah.  Pada saat Insinyur Soekarno baru belajar berjalan dan belum lancar bicara, Dewi Sartika sudah berinisiatif mengajar membaca, menulis dan keterampilan yang harus dimiliki seorang wanita.  Pada saat Bung Hatta baru berusia dua tahun, Dewi Sartika sudah mendirikan sekolah untuk kaum perempuan.  Visi beliau benar-benar melampaui zamannya.
Patutlah kita kenang Dewi Sartika sebagai pahlawan pendidikan bangsa, setara dengan orang Indonesia yang dar ..der…dor .. mengangkat senjata, atau berdiplomasi, bersilat lidah mempertahankan kemerdekaan melalui jalur perundingan.   Bentuk penghargaan lainnya adalah penamaan jalan Dewi Sartika, diantaranya di Bandung, Bogor, Bandar Lampung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Pontianak, Samarinda, Palu  dan Jakarta.
sumber:http://gentrapancaniti.wordpress.com/author/gentrapancaniti/

0 komentar:

Posting Komentar