My Rainbow Dreams

Just Blogger Templates

Rabu, 26 Oktober 2011

ORIENTASI NILAI BUDAYA WANITA JAWA MODERN

ORIENTASI NILAI BUDAYA WANITA JAWA MODERN
DALAM NOVEL KELUWARGA PEJUWANG
KARYA SUPARTO BRATA


Oleh: Toha Machsum, M.Ag
(peneliti pada Balai Bahasa Surabaya)
A. Pendahuluan
Novel Keluwarga Pejuwang merupakan salah satu dari karya-karya sastrawan ternama Jawa Timur Suparto Brata yang baru, ditulis pada tahun 2001 dan pernah dimuat dalam majalah “Panjebar Semangat” No. 9, tanggal 2 Maret 2002 sampai No. 27, tanggal 6 Juli 2002 (Machsum, 2003 ; 2). Dalam novel itu, Suparto Brata menampilkan tokoh-tokoh wanita yang ulet berwawasan luas. Wanita yang diinginkannya adalah wanita mandiri khas Jawa, yakni berpendidikan, bekerja, berkeluwarga, dan bertindak tanduk halus, tidak meninggalkan sifat khas Jawa.
Novel sebagai salah satu jenis sastra merupakan alat untuk menyampaikan visi, reaksi dan opini pengarang terhadap sesuatu yang dilihat, dirasa, diamati dan dipikirkannya. Sebagai sebuah karya sastra, novel Keluarga Pejuwang menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini Damono (1984:1) mengemukakan bahwa kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antara masyarakat dan individu, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Dengan demikian, segala aspek kehidupan manusia dengan budayanya terdapat dalam sastra. Di dalam karya sastra, sastrawan memperlihatkan sikapnya dan memberikan kebijakannya tentang berbagai aspek kehidupan manusia, tidak terkecuali tentang sikap dirinya sendiri.
Berangkat dari kerangka berfikir di atas makalah ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra, yaitu melihat karya sastra sebagai dokumen sosio budaya. Alasannya adalah karena pembahasan ini mengangkat persoalan yang berhubungan dengan orientasi nilai budaya wanita Jawa modern yang terdapat dalam novel Keluwarga Pejuwang. Dengan demikian jelas bahwa karya sastra dalam pembahasan ini dianggap sebagai dokumen sosio budaya. Seperti juga dikemukakan oleh Hoggart (1975:170), karya sastra selalu disinari oleh nilai-nilai yang diterapkan. Oleh karena itu, yang dilakukan pengarang di dalam karyanya adalah masalah-masalah yang berhubungan dengan kehidupan individu-individu dalam struktur masyarakat dan itu tidak terkecuali struktur masyarakat Jawa yang patrinialis yang saat ini sudah tergeser diganti dengan pranata sosial baru yang lebih egaliter dan rasional. Kemudian, patut digaris-bawahi juga bahwa pengarang adalah produk dari zaman dan lingkungannya. Sudah barang tentu banyak-sedikitnya dipengaruhi oleh hal itu. Ide yang terdapat di dalam pikirannya itulah yang ditransformasikannya melalui tokoh-tokoh cerita. Dengan demikian sastra itu berarti pengucapan pengalaman budaya sebagai ekpresi budaya.
Kemudian, untuk mendeskripsikan orientasi nilai budaya wanita Jawa modern dalam novel Keluwarga Pejuwang itu dilakukan dengan melihat sikap, sifat dan tingkah laku tokoh wanita ketika berhadapan dengan konflik, yaitu bagaimana ia menghadapi permasalahan, menyikapi, menyelesaikannya, serta menindak lanjuti yang pada akhirnya bermuara pada konsep hidupnya. Hasil tersebut dapat digeneralisasikan pada akhirnya sebagai orientasi nilai-nilai budaya. Menurut Kluckhon (dalam Koentjaraningrat, 1980:37), orientasi nilai budaya yang menetap dan menjadi dasar bertindak pada setiap manusia didasarkan pada beberapa persoalan dasar, yaitu hakekat hidup, hakekat karya, persepsi manusia tentang waktu, pandangan manusia terhadap alam, hakekat hubungan manusia dengan sesamanya, hakekat nilai-nilai tanggung jawab, serta hakekat nilai-nilai keadilan.
B. PembahasanB.1. Tokoh wanita dan orientasinya terhadap hakekat hidup 
Berbicara tentang hakekat hidup tidak lepas dari pandangan hidup manusia yang diyakininya. Pada dasarnya sumber pandangan hidup dapat digolongkan menjadi tiga, sumber-sumber tersebut adalah (a) agama, (b) ideologi, dan (c) hasil renungan.
Pandangan hidup yang bersumber dari agama, dipetik dari ajaran kitab suci yang diwahyukan Tuhan kepada sesama manusia. Pandangan hidup itu kebenerannya mutlak, tidak bisa diubah oleh manusia pribadi atau golongan, berlaku universal, tidak untuk satu kelompok atau golongan tertentu, seperti Alquran untuk agama Islam. Pandangan hidup yang bersumber dari ideologi suatu golongan baik bangsa maupun negara juga bersumber dari nilai-nilai budaya hasil pemikiran manusia. Pandangan hidup bersifat relatif sehingga berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi serta berlaku untuk suatu kelompok atau bangsa tertentu, misalnya Pancasila merupakan abstraksi dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang diyakini kebenarannya sebagai pandangan hidup dalam berbangsa dan bernegara di
Indonesia. Pada sisi lain, pandangan hidup yang bersumber dari hasil renungan diperoleh manusia melalui imajinasi dan pikiran menjadi klimak suatu kebenaran yang diyakini menjadi pandangan hidup, misalnya aliran kepercayaan.
Di dalam menentukan pola hidupnya, manusia selalu bersandar pada kodrat kemanusiawiannya. Kodrat manusia yang hakiki dan selalu melekat padanya adalah kodrat sebagai makhluk alamiah pada satu sisi, dan kodrat sebagai makhluk spiritual pada sisi yang lain. Kedua kodrat ini tidak bisa tidak selalu menjadi tolok ukur bagi manusia di dalam menjalani berbagai aspek kehidupannya. Orientasi nilai manusia tentang hakekat hidup juga disandarkan kepada kodrat yang melekat ini.
Tanpa landasan yang jelas sebagai tolok ukur di dalam bertindak, manusia atau individu tertentu akan terombang-ambing di dalam mengambil sikap bagi hidupnya. Menurut Taufik Abdullah (dalam Muhardi, 1984:15), orientasi tentang hakekat hidup merupakan hal utama di dalam pembentukan sikap dan tingkah laku manusia. Orientasi tentang hakekat hidup, membentuk manusia untuk mengolah sikap dan kepercayaan. Orientasi tentang hakekat hidup yang diyakini akan memberi warna tertentu pada sikap hidup seorang manusia.
Di dalam novel Keluwarga Pejuwang, ditemukan gambaran tokoh-tokoh wanita sebagai wanita yang memiliki orientasi nilai tentang hakekat hidup yang bersifat ideal. Orientasi semacam ini menurut Kluckhon (dalam Koentjaraningrat, 1980:37), adalah orientasi tentang hakekat hidup yang memandang bahwa hidup hari ini buruk sehingga manusia harus berusaha untuk mewujudkan hidup ini lebih baik. Dengan demikian, orientasi nilai tentang hakekat hidup ini akan menyebabkan tokoh-tokoh wanita atau individu tokoh berbuat, bersikap dan bertindak untuk memperbaiki keadaan hidup di masa lalu atau hari ini yang dianggap belum sempurna.
Tokoh Pembayun misalnya, merupakan gambaran wanita yang memiliki orientasi ideal terhadap hakekat hidup. Pembayun mendayagunakan sumber-sumber ideologi dan hasil renungan sebagai landasan yang membangun orientasinya terhadap hakekat hidup. Sumber ideologi didayagunakan untuk menjawab tantangan kehidupan yang praktis, idealis dan kongkret. Kedua sumber tersebut dipadukan dalam bentuk idealisme yang kukuh. Perhatikan kutipan berikut di bawah ini.
Kowe bisa mbrastha kuwi sarana ilmumu, sarana teknologi, nganggo cara kaya mbakyumu. Kowe putra wayahe pejuwang, mesthi ora kelangan akal kanggo makmurake bangsamu. Ora liwat politik, ora liwat pangreh, nanging sarana ilmu, sarana ilmu urip modern. Tinimbang kowe isih dadi mahasiswa
wis kudu bengkerengan karo para pangreh lan kejungkel, luwih becik mérata wae sinau ilmu menyang negara manca. Mbakyumu wis menyang Amerika, saiki kowe genten nyang Jepang, apa Jerman kana. Sinau sing mrenteng mateng golek ilmu, mengko balika mrene nganggo ilmumu kuwi kowe usaha makmurake bangsamu. Dakwanti-wanti pesenku, mulih saka negara manca aja kanthi nyacad liyan, luwih-luwih nyacat bangsamu dhewe. Elinga nyacad wong liya kuwi pawitane wong congkreh (hal. 96).
Kemudian dalam merealisasikan iman (keyakinan), misalnya, Pembayun ketika menemui kenyataan yang tidak sejalan dengan keyakinannya ia tidak langsung menjadi ortodoks dalam menghadapinya. Pembayun menggunakan dialektika yang aktual dan tradisi atau trend, ia mengikuti aturan main tersebut namun hal ini lakukan dengan kesadaran mengenai apa yang baik dan apa yang buruk seraya terus berusaha untuk mengupayakan perbaikan keadaan. Perhatikan kutipan berikut:
Saiki kowe dakbedhol saka sel pulisi kana mau….. Aku uga migunakake ilmu bebek, ing negara hukum sogok-sogokan aku kudu tetep urip kepenak, ora ngenes merga anake mlebu kunjara. Ora mung
gela kuciwa, nelangsa sesambat. Nanging aku gemregah tandang lan mrantasi gawe. Bisa ngetokake kowe sarana nyogok ya ora papa, manut gendhinge jaman saiki. Aku bisa! Banjir sogok, banjir korupsi, aku ora kerem, aku tetep nglangi kaya bebek. Negara geger korup aku tetep kumambang. Nanging ya ora melu korupsi, marga uripku gumantung karo lelabetanku lan tata gaweku. Uripku seneng apa geger sing nggawe aku, dudu jamanku (hal. 96).
Mereka juga memandang bahwa hidup ini adalah anugerah Tuhan yang harus diterima dan disyukuri. Sebagai realisasi rasa syukurnya mereka menyikapi hidup ini secara optimis yang berarti mempunyai semangat kerja yang tinggi: keuletan, kesungguhan kerja, dan sikap ingin maju. Mereka hanya mengharapkan hasil akhir yang dapat mensejahterakan keluarga, masyarakat, dan negara. Perhatikan pernyataan kutipan berikut ini:
Ya merga kita ora nggresula, nanging tansah tandang berjuwang bengkas becike nasib supaya raharja tanpa sambat. Mbecikake nasib kita sembadani kanthi mesem, kanthi lega-legawaning ati minangka bekti kita marang Pangeran, bekti matur nuwun marga
wis diparingi urip lan nasib kaya mengkene….. berjuwang amrih raharja tumrap pribadi, tumrap bangsa lan tumrap manungsa urip sapadha-padha (hal. 36).
Di samping itu, Ngesthiratu dan Wara Pramesthi adalah dua tokoh wanita muda berpendidikan yang dapat mengabdi kepada bangsanya sesuai dengan bakat pendidikan yang dimiliki. Misalnya, jika keduanya menghadapi hal-hal yang bersifat praktis dan pragmatis, tanpa melupakan aturan-aturan main mereka mendayagunakan kemampuan akademisnya. Sebagai contoh, Ngesthiratu dapat memperoleh penghasilan dengan nguri-uri sastra Jawa. Perhatikan kutipan di bawah ini:
Iya, no, Mbak. Wong saiki kancaku sing ngipuk-ipuk sastra Jawa sangsaya akeh. Mbak Widya ya isih gagah prakosa tandang gawe ngrembakakake basa Jawa. Ya gelem tetulung aku. Wong iki investasi sastra-budaya, lan sastra-budaya Jawa kuwi tau adiluhung. Dakkira aku rugi satak bathi ngluhurake budaya bangsa, ngluhurake peradhaban manungsa donya (hal. 115). 
Berdasarkan uraian di atas, terlihatlah bagaimana sikap hidup tokoh-tokoh wanita dalam novel Keluwarga Pejuwang. Mereka membangun orientasinya terhadap hakekat hidup berlandasan pada tata nilai yang jelas, mapan dan normatif seperti adat, idiologi dan nilai-nilai renungan.
B.2 Tokoh wanita dan orientasinya terhadap hakekat karya 
Manusia hidup selalu mempunyai keinginan-keinginan dan harapan-harapan tertentu. Keinginan dan harapan yang dimiliki inilah yang kemudian menggerakkan manusia untuk berbuat, bertindak serta berkarya guna menjalani kehidupannya. Dengan bekerja, berbuat serta berkarya, manusia berusaha agar hakekat hidupnya semakin hari semakin bertambah baik. Dengan begitu, di dalam berkarya untuk pengembangan diri, manusia mempunyai orientasi nilai tertentu tentang karya, tentang bagaimana ia berbuat.
Harapan atau keinginan manusia itu disebut dengan cita-cita. Dan cita-cita inilah yang merupakan faktor mendasar bagi pembentukan orientasi nilai pada manusia terhadap karya. Menurut Levinas (dalam Poespowardojo dan Bartens, 1982:68), dengan cita-citalah manusia merumuskan hidupnya untuk berkarya, bekerja serta bagaimana mempertahankan diri untuk tetap bertahan hidup. Cita-cita menjadikan manusia dapat berasumsi tentang kebenaran dan kebaikan, tentang karya yang dihasilkannya dan yang dihasilkan manusia lainnya. Dengan demikian cita-cita merupakan dasar bagi orientasi nilai manusia tentang hakekat karyanya.
Dalam novel Keluwarga Pejuwang tokoh-tokoh wanitanya digambarkan sebagai tokoh yang berorientasi positif terhadap karya. Mereka percaya bahwa karya adalah sesuatu yang sangat perlu untuk meningkatkan kualitas dan martabat hidup. Orientasi mereka dipengaruhi oleh norma yang ada dalam lingkungannya, seperti adat istiadat (baca: Jawa), agama, hukum dan sebagainya yang memang dijalankannya dengan penuh kesadaran. Pembayun ~ wanita lumpuh, ibu dari dua wanita, yaitu Ngesthiratu dan Wara Pramesthi, ~ merupakan tokoh yang memiliki orientasi positif terhadap karya. Berkarya baginya dituntun oleh semangat untuk mengabdi dan berbakti, baik keluarga, masyarakat maupun bangsa. Ia sadar bahwa tanpa berkarya yang berarti seseorang tidak akan pernah bisa hidup dalam arti yang sebenarnya. Ia berpendapat bahwa karya sangat bermanfaat bagi kualitas hidup itu sendiri, idealisme, perkembangan ilmu pengetahuan, cinta, dan kasih sayang. Dengan berkarya dan bekerja akan tercapai masyarakat yang adil dan makmur, gemah ripah loh jinawi.  Hal itu dapat ditemukan pada penceritaan ketika Pembayun menasihati Adreng:
Tirunen mbakyumu Wara. Sinau tenan nyang Amerika mulih nggawa ilmu saka Amerika. Ngrimuk wong Amerika supaya nginvestasiake pawitane ing kene, dadi kepercayane, lan bisa makmurake bangsane (hal. 96). ………. Dakwenehi conto mau polah tingkahe mbakyumu, Wara. Utawa adhimu, Ngesthi ngayawara anggone nggawe senenge manungsa kanthi ngrembakake basa Jawa. Dheweke rumangsa seneng yen sarana bisa ngomong basa Jawa wae uwong bisa urip kepenak (hal. 99). B.3.  Tokoh wanita dan orientasinya terhadap waktu 
Hakekat waktu adalah perubahan. Hal ini ditandaskan oleh tokoh-tokoh kefilsafatan, misalnya John Dewey, Jean Paul Sartre, Kier Kigaard dan Karl Jaspers yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu yang tetap, yang tetap adalah perubahan itu sendiri (Graff et al, 1966: 177). Oleh karena itu, kualitas kemampuan seseorang dalam menilai waktu terletak pada kemampuannya dalam memahami dan memaknai perubahan tersebut, serta memanfaatkan hal itu bagi kemajuan dirinya, baik sebagai individu, anggota masyarakat maupun sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Di dalam mengantisipasi segala aktivitas kehidupannya, manusia mau atau tidak terikat oleh ruang dan waktu. Ruang dan waktu telah disadari sebagai faktor yang membatasi keinginan manusia untuk berkreativitas secara luas. Oleh sebab itu, ruang dan waktu selalu menjadi obsesi bagi manusia di dalam berkarya, terutama bagi manusia-manusia yang kreatif. Diungkapkan oleh Kluckhon (dalam Koentjaraningrat, 1980: 37), di dalam keterbatasan manusia menghadapi ruang dan waktu, menusia mempunyai persepsi tertentu terhadap ruang dan waktu. Persepsi manusia terhadap waktu menurutnya dapat terbagi atas tiga orientasi, yaitu (1) orientasi pada masa lalu; (2) orientasi pada masa kini; (3) orientasi pada masa datang. Masing-masing orientasi manusia tentang waktu ini selain ditentukan oleh masing-masing individu manusia juga ditentukan oleh hal-hal lain. Di sekitar individu ikut menentukan orientasi manusia tentang waktu. Misalnya tuntutan dan kehendak zaman, konvensi di dalam masyarakat, serta pandangan hidup dan ideologi masyarakat secara umum.
Tokoh-tokoh wanita dalam novel Keluwarga Pejuwang merupakan tokoh-tokoh yang memiliki orientasi positif terhadap nilai-nilai waktu. Mereka menyadari bahwa segala sesuatu berubah sehingga seseorang tidak harus selalu berpedoman pada apa yang ada di masa lalu untuk mempertimbangkan keadaan di masa kini. Bagi mereka, kesuksesan yang pernah diraihnya di masa lalu hendaknya harus dilanjutkan dan dikembangkan dengan menyadari bahwa perubahan telah berlangsung pada segala aspek kehidupan. Hal ini dapat diketahui dari kutipan berikut:
“Ing akhire abad rongpuluh iki bangsa kita isih urip sarana ngagul-agulake otote, nuduhake kekuwatan marga akehe balane, kaya wong Ngastina, dene bangsa liya dadi warga Pendhawa, urip kepenak migunakake akale, budayane, tehnologine. Ilmu lan kawruh anyar cara-carane nata urip kepenak durung padha disinau dening bangsa kita. Sing dipeng-pengake mung ngotot teori tradhisional, praktek lan teori jaman kuna sing biyen wis tau sukses dienggo panguripane bangsa………..”“Ing ngendi-endi, ing pérangan jagad ngendi wae, wong sing pinter, sing gelem sinau sarana maca buku, kuwi sing dadi wong kuwasa lan sugih. Wong bodho kaya bangsa kita sing ora nduweni budaya maca buku tansah ketleyek,” Wara Pramesthi nimbrung setuju karo ujare adhike (hal. 39). 
Kutipan itu menunjukkan bahwa Wara Pramesthi dan Ngesthiratu memiliki orientasi waktu yang jelas terhadap waktu kini dan masa depan. Hal ini dibuktikan dengan sikap Ngesthiratu yang diikuti Pramesthi menolak sikap yang terlalu mengagung-agungkan teori dan praktek masa lalu yang pernah cemerlang.
Di samping itu, tokoh Wara Pramesthi merupakan sosok perempuan yang sangat menghargai waktu sehingga ia selalu kreatif (mampu berpikir mandiri dan solutif, tidak terkondisi atau bahkan tergantung dengan prasarana dan sarana yang ada), aktif dan produktif dalam setiap langkah-langkahnya bahkan ia mempunyai slogan “sak cuplik sak jangkah laku kita, tansah mikir karaharjane manungsa sapadha-padha” (hal. 74). Orientasinya tentang nilai-nilai waktu dipengaruhi oleh konsep-konsep “time is money” yang sepenuhnya telah menjadi bagian dari kehidupannya. Oleh karena itu, baginya tidak ada istilah membuang-buang waktu kalau tidak dapat dikatakan nganggur. Perhatikan pendapat Wara Pramesthi dalam kutipan berikut:
Bisa uga kanthi mengkono kita ora perlu nganakake liburan mligi ing dina libur nasional, pabrik bisa tetep lumaku terus. Marga tumrape wong Amerika, time is money, urip iki kudu diproduk satanja-tanjane kanggo ngiseni karaharjaning donya. Mumpung isih urip kudu mroduk sing gawe raharjane urip, aja nganti nganggur, aja nganti mbuwang-mbuwang wektu.Kaya contone pabrik ing Cikarang kae: stafe omahe akeh ing Jakarta. Budhal kantor macet. Umure entek ing ndalan. Kuwi urip muspra, ora produktif. Kuwi sing kudu dakpikir aku ngrekut karyawan ing kene. Mula aku mau takon prekara perusahaan transportasi barang. (hal. 65). 
Sikap dan sifat dua tokoh wanita itu tidak dapat lepas dari Pembayun, ibu dari dua wanita tersebut, yang memiliki pandangan luas dan dapat mendidik anak-anaknya menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa (hal. 100) serta menjadi juru mudi rumah tangga (hal. 92).
B.4. Tokoh wanita dan orientasinya terhadap alam 
Menurut kerangka Kluckhon (dalam Koentjaraningrat, 1987:28), semua sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan di dunia mencakup lima masalah pokok kehidupan manusia, dan salah satu masalah pokok adalah hubungan manusia dengan alam. Berkaitan dengan permasalahan hubungan manusia dengan alam ini, terdapat tiga kemungkinan, yaitu (a) manusia yang luluh dengan alam, (b) manusia yang memandang bahwa alam berada di luar dirinya dan harus dieksploitasi dan (c) manusia memandang bahwa ia hidup dalam alam namun dapat melakukan perubahan atau perbaikan terhadap alam tersebut.
Setiap manusia atau masyarakat mempunyai satu pandangan dari tiga kemungkinan yang dikemukakan Kluckhon di atas. Namun dari tiga alternatif yang dikemukakan, yang ideal dan mendekati yang terbaik hanya satu, yaitu memandang bahwa manusia hidup dalam alam, tetapi mampu mendayagunakan alam demi kehidupannya.
Manusia berusaha untuk mampu menguasai alam. Meskipun demikian, terdapat kesaling-tergantungan antara alam dan manusia. Manusia tidak mungkin hidup tanpa alam, dan alam tidak akan dapat didayagunakan tanpa adanya usaha atau “campur tangan” manusia.
Secara tegas tokoh wanita dalam Keluwarga Pejuwang digambarkan oleh pengarang sebagai wanita-wanita yang menganut orientasi hubungan yang harmonis antara alam dan manusia. Mereka berpandangan bahwa alam harus disadari oleh manusia, perubahan alam itu berarti kemajuan. Dalam perkembangannya, manusia dituntut untuk maju dan berkembang ke arah yang lebih modern. Jadi, alam dianggap sebagai sesuatu yang memiliki dua dimensi sebagai wahana, sekaligus sebagai alat pemenuhan kebutuhan manusia.
Wara Pramesthi yang diikuti Ngesthiratu misalnya, memandang alam ini harus didayagunakan, diolah, dan disesuaikan dengan kehendak perkembangan zaman, serta dikembangkan ke arah yang lebih modern. Perhatikan kutipan ini:
La paringane sapa, wong Jawa bisa nemokake dina Pon-Wage-Kliwon, Wuku- Watugunung – Kurantil barang kuwi, nemokake dina-dina sing kena dienggo ngihtiyari nyingkiri naase lelakon?…..Milih dina lan papan kanggo madeg candhi kuwi mesthi wis nganggo petungan kang njlimet lan praktis, mula bisa madeg Prambanan kang watune mengklik-mengklik jejer mendhuwur nganti rampung dadi telung candhi……Lo, kasektene wong Jawa bisa golek dina becik kuwi rak ya paringane Allah (hal: 31). B.5  Tokoh wanita dan orientasinya terhadap hubungan sesama 
Manusia baru merasa berarti dan lengkap hidupnya setelah ia melakukan interaksi dengan manusia lain. Manusia menyadari bahwa di samping aku masih ada orang lain atau aku yang lain. Hal itu berarti bahwa kehidupan seseorang tidak dapat dilepaskan dari orang lain, sehingga arti manusia pada hakekatnya dibentuk dan ditentukan oleh masyarakat lingkungannya.
Bagaimanapun, hidup bersama orang lain bukanlah suatu kebetulan saja, melainkan sesuatu yang bersangkutan dengan eksistensi manusia. Hidup bersama manusia lain bukan hanya suatu kenyataan saja, melainkan sesuatu yang harus ada, karena ikut menentukan eksistensi manusia sebagai manusia (Poespowardojo, 1983:41). Orang lain adalah sesama manusia, artinya orang lain mempunyai hubungan kodrat dengan aku dan karena hubungan itu menjadi sesama manusia juga.
Dari sisi lain, sebagai makhluk alamiah, manusia tidak mungkin dapat memenuhi segala kebutuhan tanpa bantuan manusia lainnya. Di samping itu manusia memang tidak diciptakan untuk tidak saling berhubungan antara satu dengan lainnya. Dengan perkataan lain, manusia selalu saling tergantung antara sesamanya. Berdasarkan kenyataan inilah, manusia disebut juga dengan istilah makhluk sosial  (zoon politicon).
Hubungan antara individu dan individu lain beragam coraknya. Ragam hubungan itu akan diwarnai oleh pola dasar masing-masing individu. Menurut Levinas (dalam Poespowardojo dan Bartens, 1982:45) pada dasarnya hubungan yang baik adalah dengan konsep “orang lain adalah tuan bagi diri sendiri”. Berdasarkan konsep dasar ini menurut Levinas akan tercipta hubungan yang harmonis dan serasi antara sesama manusia.
Tokoh Ngesthiratu dan Pembayun digambarkan sebagai dua wanita yang memandang bahwa hubungan sesama merupakan kebutuhan hakiki dan harus dilaksanakan secara ideal sesuai dengan aturan-aturan. Ngesthiratu berpandangan bahwa manusia diciptakan dalam derajat yang sama. Sementara Pembayun berpandangan bahwa seseorang akan berguna jika memang berguna bagi orang lain dan orang banyak. Perhatikan kutipan yang menunjukkan kepedulian Pembayun dan Ngesthiratu terhadap sesama:
“E, Mbak Yem. Kowe daklamarake nyulihi swarane Victoria Ruffo. Gelem, ya?” Ngesthi kenes nari Mbak Yem…..“La mangke keng ibu menapa marengaken?”“Pareng, ya, Bu, Mbak Yem dakkon nyulihi swara ing telenovela Jawa?”“Oleh wae. Kuwi rak ningkatake rejekine Satiyem sarana ngetog kapinterane. Aku seneng, wong bisa saya migunani tumrap wong liya,” (hal. 51). 
Sikap Ngesthiratu yang didukung Pembayun, menawarkan pembantunya yang dipandang lebih pantas berperan daripada dirinya menunjukkan sikap kasih sayang sesama manusia dengan tidak membeda-bedakan satu sama lain dalam kehidupan bermasyarakat.
Selain sikap di atas, tokoh Pembayun, Ngesthiratu, dan Wara Pramesthi digambarkan wanita yang teguh, setia, tegar dan mempunyai pandangan dan wawasan luas dapat diterima banyak pihak. Pembayun misalnya, ketika anaknya Adreng ditahan polisi ia berusaha membebaskan dengan cara apapun. Ini adalah wujud kesetiaan, keteguhan dan luas pandangannya. Demikian juga, Wara Pramesthi ketika ditinggal kekasihnya kembali ke Houston, ia berusaha tegar dan realistis. Ia bahkan tetap berjuang demi kemakmuran dan martabat keluarga, masyarakat dan bangsa. Perhatikan kutipan berikut:
Dadi yen Eyang Kakung biyen kanggo mbelani negara lan bangsa wani kurban jiwa raga, kurban jiwane sedulur-sedulure, yen Mbak Wara, minangka trahe Keluwarga Pejuwang, wani ngurbanake tresna-asmarane mbelani uripe bangsa, rakyat cilik supaya raharja. Saiki ora sida oleh jodho. (hal: 116). 
Hubungan kemasyarakatan dengan sesama sebagaimana dijelaskan di atas mencakup pada relasi sosial laki-laki dan perempuan yang harus disesuaikan dengan semangat keadilan zamannya. Keterangan lebih jelas disebutkan dalam pasal orientasi tentang keadilan.
B.6  Tokoh wanita dan orientasinya terhadap tanggung jawab 
Bagi manusia, tanggung jawab yang utama adalah tanggung jawab pada diri sendiri, yakni membentuk dirinya sendiri. Dalam hal ini, ia bebas memilih jalan dan cara yang akan ditempuhnya, manusia bebas menentukan pilihannya, tetapi di balik kebebasan yang dimilikinya, ia harus bertanggung jawab terhadap pilihannya itu. Sartre %2http://supartobrata.com/?p=76

0 komentar:

Posting Komentar